Kamis, 20 Juni 2019

Kota Satria atau Kota Pudak?



Kamu pernah kepikiran pengen merantau? Atau berpikiran tinggal di tempat yang jauh dari asalmu?
Kalo iya, berarti kita samaan. Hehehe.

Sebelum tinggal di kota Satria ini, aku tinggal di Gresik. Tau Gresik kan? Itu loh kota industri yang terkenal dengan Semen dan Pupuknya. Sejak usia dini alias 3 bulan di tahun 1986 (ketahuan kan umurku, he), aku pindah dari tanah kelahiranku, Cilacap, ke kota yang bersebelahan dengan Surabaya ini.

Sejak kecil, aku sering diajak ibu-bapakku mudik ke Kota Bercahaya- Cilacap. Naik kereta api. Jangan bayangkan kereta api jaman dulu seperti sekarang ya. Dari situlah keinginanku untuk merantau terasah tajam, pisau kali ah. Semakin dewasa, keinginan untuk pergi dari rumah semakin menggebu-gebu.

Dan kesempatan itu datang setelah aku menyelesaikan kuliah di tahun 2008. Tiga bulan setelah wisuda, aku kerja tapi cuman sebentar. Saking seringnya ngaplo alias ngga ngapa-ngapain di tempat kerja, browsing-browsing tempat-tempat asik pun terjadi. Klik klik klik dan eng ing eng...sampailah pada sebuah situs yang memperlihatkan keindahan kota PURWOKERTO. Jiwa petualangku terusik, e cie cie...

Di tahun 2010, aku memutuskan untuk pindah ke sana. Pengen tau kota ini seperti apa? Nih, aku kasih sedikit bocoran bukan cuman tentang Purwokerto tapi juga Gresik. Biar kamu ga berisik. Hihihi. Udah siap? Let’s start.

Kalo dilihat dari peta Indonesia, kedua kota ini sih ga sampe sejengkal tangan. Tapi kalo mau berkelana menikmati perjalanan, hijrah dari Gresik ke Purwokerto akan memuaskan dahagamu. Sebenarnya, kedua kota ini memiliki geografis yang jauh berbeda. Gresik merupakan dataran rendah di pesisir laut Jawa sedangkan Purwokerto berada di dataran tinggi di kaki Gunung Slamet. Dari sini udah merasakan bedanya kan?

Udara Purwokerto tentunya jauh lebih sejuk dibanding Gresik. Belum ada Polusi (kala itu, red). Kabut? Sering banget turun meski itu di pusat kota. Apalagi musim kemarau, kabup pekat bakal turun di kota seribu curug ini. Curug atau air terjun, atau waterfall ya...heee..

Curug Cipendok

Oya? Iya dong. Seribu curug? Kayaknya lebih deh. Tapi belum tahu ding. Belum pernah bener-bener survei jumlahnya di sini. Kalo kamu tinggal di kota ini, untuk menuju ke curug-curug itu deket, guys. Kebanyakan curug-curug itu di wilayah Baturraden. Kenal kan sama doi? Dataran tinggi yang sekarang masuk dalam 10 tararan tinggi terpopuler di Indonesia. Baturraden cuman setengah jam dari pusat kota Purwokerto. 

Di sini, kamu bisa explore jiwa petualanganmu dengan mengunjungi beragam curug. Mau curug yang tinggal nyemplung tanpa jalan kaki atau pengen bikin kakimu capek sebelum ciblon juga ada. Dari curug yang tingginya puluhan meter sampai curug yang cuman lima meter ada semua di sini.


Kedung Pete, Curug Telu


Meski Gresik tak sesejuk Purwokerto bukan berarti di kota Pudak ini tak ada tempat wisata. Banyak juga dong. Bedanya, di kota ini lebih banyak wisata sedimen penambangan kapur. Sebut saja Bukit Jamur di Menganti dan Wisata Sekapuk yang menyajikan indahnya kerukan penambangan kapur. Kota ini memang dijuluki kota kapur karena saking banyaknya wilayah kapur di sini.
Kota ini juga banyak industri. Polusi? Bisa dibayangkan.

Tapi tetap saja, kota ini mempesona. Karena UMR di kota ini tinggi, guys. Wih wih wih. Ditambah lagi, beragam kuliner lezat tersaji di sepanjang jalan dari arah Surabaya sampai ujung kota ini which is berdekatan dengan Lamongan. Dijamin bisa subur makmur kalo kamu merantau di sini. Sebut saja nasi krawu daging, bandeng presto, otak-otak bandeng, lontong kupang, lontong rumo, martabak usus, pentol kojek, dan kalo kamu beruntung setiap Ramadan di daerah Gumeno tersaji kolak ayam.


Foto perjalanan Saya dan teman2 saat di Gresik

Belum pernah makan ayam dibikin kolak kan? Makanya main ke Gresik setiap Ramadan dan temukan keaslian rasa kota ini, uwooooo. Eh, kelupaan. Satu lagi makanan yang wajib dicoba, Pudak. Penasaran kan? Makanan ini sejenis snack yang ga ringan. hihihihi. Soal harga, makanan ini tidak menguras kantong para perantau yang masih pas-pasan cenderung kering sepertiku , hiks. Dijamin rasa kaki lima harga bintang lima, eh, kebalik. Rasa bintang lima, harga kaki lima. 

Trus gimana Purwokerto? Makanan apa aja yg yahud di sana?

Yang paling terkenal tentu saja tempe mendoan. Di sini, kamu bisa menemukan bentuk mendoan yang super besar sampai-sampai perutmu kenyang hanya dengan makan sebiji aja. Kalo kamu suka yang manis-manis kayak aku, hehehe, di kota ini tersedia getuk goreng. Iya getuknya digoreng.


lagi...haluu

Rasanya? Tentu saja semanis omongan gebetan waktu pedekate. Ada juga dages. Ini sejenis tempe tapi dari ampas tahu. Kan bingung? Jadi sebenernya ini tempe apa tahu? Mau tau? Ke sini aja.
Soal rakyatnya alias para buddies-nya, kedua kota ini menjadi juaranya. Ruuuuaaaammaaaaahh banget. Ga usah takut untuk bertanya pada orang-orang disini. Mereka akan sangat senang membantu Anda-Anda sekalian jikalau tersesat di kota ini. Jika beruntung, bisa dapat pasangan, eh.

Meski sekarang sudah tinggal di Purwokerto, Gresik tetap selalu di hati. Dua-duanya tidak terpisahkan dari nadi ku..ahaay....

Rabu, 19 Juni 2019

Cebong dan Kampret di Mandalawangi

Pejabat di Mandalawangi Gunung Gede Pangrango

Kabut dingin menyapaku saat kaki ini menapak di Lembah mandalawangi, Gunung Pangrango April lalu.

Lembah Mandalawangi, yang menurutku sebuah percikan surga yang mendarat di Gunung Pangrango ini. Sepanjang mata memandang, hamparan bunga abadi Edelweis yang mulai mengembang. Sungai kecil yang membelah Mandalawangi airnya mengalir sepanjang tahun. Bersih, dan juga rasanya ada manis-manisnya gitu. (bukan kaya iklan air mineral loh, hee...).

Otakpun bekerja lebih normal, asupan oksigen yang bersih dari udara Mandalawangi membuat, toksik-toksik hilang. Aliran darah semakin lancar, bahkan kalau dibuka, bisa muncrat. heee...

Sunyi, suasana di lembah yang dijadikan puisi oleh Soe Hok Gie, aktivis UI dan juga pendaki gunung yang sering menghabiskan waktu disini. Pemandangan yang indah, suasana yang sunyi memang sangat cocok untuk untuk mencari inspirasi membuat puisi. Sayang,..karena sibuk foto jadi tidak sempat..haaa..

Hening,.tidak ada suara keramaian. Patut untuk menyepi, tapi jangan sendiri. Bakal menakutkan pasti, dan kalau terjadi apa-apa tidak ada yang mengetahui. Cuman mengingatkan, disini ada prasasti sebagai lambang untuk mengingat para pendaki yang meninggal di Gunung dengan ketinggian 3.019 mdpl ini.

Ngopi di Mandalawangi
Kopi yang dibuat pun, menjadi kopi terenaak di dunia. Meski hanya kopi sacet, bukan kopi-kopi khas kedai kopi yang lagi kekinian itu. Apalagi, bercengkrama dengan teman yang baru dikenal di puncak. Kebersamaan, keeluargaan, tanpa ngomong politik pilihan ita, meski kami Cebong dan Kampret.

Ingin rasanya berlama-lama, bahkan menikmati malam di lembah ini. Menikmati gugusan bintang di langit yang terlihat akan sangat dekat dengan kita, membuat kita serasa lebih dekat dengan pencipta (kalau merasa sih). Waktulah yang akan menemukan kami..pendaki dan Kesunyian Mandalawangi.

Sponsor kami, Hitec

13 Tahun lalu, kaki ini menginjakan kaki di Gunung Pangrango. Ajakan dari teman 'balung tua' lah yang membuat saya menjelajah kembali ke masa lalu. Kaki tidak selincah dulu, tidak lagi bisa menahan berat beban seperti dulu. Dengan tekat keras dari Tim Pejabat (pendaki Jalan Lambat) ini, membuat perjalanan lebih menyenangkan.



Camping di Kandang Badak, itu ajakan pertama kepada saya, yang langsung saya iyakan. Sesampainya disana, ternyata tujuan adalah Puncak Pangrango. Saya ikuti, karena kala puncak Gede, pasti akan saya tolak. karena beberapa bulan lalu, baru meninjakan kaki di Gunung Gede, yang sangat ramai, serta sudah banyak penjaja makanannya. Kalau seperti ini sih, ada positifnya, bisa meringankan beban konsumsi kalau nanjak.

Empat orang pendaki cewe, yang sudah puluhan tahun tidak meregangkan kakinya di gunung, mencoba mendaki lagi. Langsung ke Gunung Pangrango.



Perjalanan yang tidak mudah, tapi dengan semangat 30 an, kami berangkat dan menjajal kaki dengan jalur Cibodas. Butuh sekitar delapan jam, perjalanan dari basecamp Cibodas menuju ke Kandang Badak. Perjalanan yang tidak mudah, bikin ngos-ngosan tapi menyenangkan.

Menjadi lebih semangat, karena menu makan malam yang sangat istimewa. Dengan Chef langsung dihadirkan dari Depok, Chef Emon.

Menu Makam Malam kami
Perjalanan dari Kandang Badak, menuju e Puncak secara normal ditempuh selama dua jam perjalanan. Tapi kali ini, bagi kami lebih dari itu. Padahal, tidak ada beban yang kami bawa di punggung.

Apa coba masalahnya, ternyata...kita tidak sarapan. Padahal, saat malam, menu makanan kami sangat mewah dan banyaaak...

Walhasil, jalur yang panjang dan menanjak, dengan perut keroncongan, membuat kami semakin lambat. Beruntung, teman perjalanan kami, eh mas Porter, Kang Balon. Kesalahan fatal lagi, adalah, tidak membawa trangia, jadi tidak bisa ngopi Puncak, atau di Mandalawangi. Ah..pendakian iseng banget kan...kelihatan lama ngga pernah nanjak nih...duh

Kelihatan lemes banget kaan...
Semua kelelahan, terbayarkaan dengan indahnya Mandalawangi. Puncak sih biasa saja. haaa...
Apalagi, disana saya mendapat pengalaman yang tidak enak. Menginjak "ranjau darat" alias ee orang. teganya, pendaki itu, ee di dekat puncak, dan ruangan terbuka pula. Ah...baunya jadi keinget deh...Sem.

Puncak Pangrango

Kopi terenak juga didapatkan, dari 'urunanya' pendaki-pendaki lain. Kompor pinjam dari pendaki asal Jakarta, yang dituker dengan setup pisang. Kopi, ternyata da satu disaku Kang Balon. Kopi yang enak dan bisa mengisi energi, meski tidak full. Tapi bisa membawa kami turun Kandang Badak.


Puncak Pangrango dari Kandang Badak

Poto wajib di Mandalawangi

Meski lelah, kami Bahagiaa


Keren kan kami...heee

Sebelum menanjak


Ingin lihat perjalanan mengasyikan kami di Gunung Pangrango, bisa klik https://youtu.be/dqszJq1aN_0