Rabu, 19 Juni 2019

Cebong dan Kampret di Mandalawangi

Pejabat di Mandalawangi Gunung Gede Pangrango

Kabut dingin menyapaku saat kaki ini menapak di Lembah mandalawangi, Gunung Pangrango April lalu.

Lembah Mandalawangi, yang menurutku sebuah percikan surga yang mendarat di Gunung Pangrango ini. Sepanjang mata memandang, hamparan bunga abadi Edelweis yang mulai mengembang. Sungai kecil yang membelah Mandalawangi airnya mengalir sepanjang tahun. Bersih, dan juga rasanya ada manis-manisnya gitu. (bukan kaya iklan air mineral loh, hee...).

Otakpun bekerja lebih normal, asupan oksigen yang bersih dari udara Mandalawangi membuat, toksik-toksik hilang. Aliran darah semakin lancar, bahkan kalau dibuka, bisa muncrat. heee...

Sunyi, suasana di lembah yang dijadikan puisi oleh Soe Hok Gie, aktivis UI dan juga pendaki gunung yang sering menghabiskan waktu disini. Pemandangan yang indah, suasana yang sunyi memang sangat cocok untuk untuk mencari inspirasi membuat puisi. Sayang,..karena sibuk foto jadi tidak sempat..haaa..

Hening,.tidak ada suara keramaian. Patut untuk menyepi, tapi jangan sendiri. Bakal menakutkan pasti, dan kalau terjadi apa-apa tidak ada yang mengetahui. Cuman mengingatkan, disini ada prasasti sebagai lambang untuk mengingat para pendaki yang meninggal di Gunung dengan ketinggian 3.019 mdpl ini.

Ngopi di Mandalawangi
Kopi yang dibuat pun, menjadi kopi terenaak di dunia. Meski hanya kopi sacet, bukan kopi-kopi khas kedai kopi yang lagi kekinian itu. Apalagi, bercengkrama dengan teman yang baru dikenal di puncak. Kebersamaan, keeluargaan, tanpa ngomong politik pilihan ita, meski kami Cebong dan Kampret.

Ingin rasanya berlama-lama, bahkan menikmati malam di lembah ini. Menikmati gugusan bintang di langit yang terlihat akan sangat dekat dengan kita, membuat kita serasa lebih dekat dengan pencipta (kalau merasa sih). Waktulah yang akan menemukan kami..pendaki dan Kesunyian Mandalawangi.

Sponsor kami, Hitec

13 Tahun lalu, kaki ini menginjakan kaki di Gunung Pangrango. Ajakan dari teman 'balung tua' lah yang membuat saya menjelajah kembali ke masa lalu. Kaki tidak selincah dulu, tidak lagi bisa menahan berat beban seperti dulu. Dengan tekat keras dari Tim Pejabat (pendaki Jalan Lambat) ini, membuat perjalanan lebih menyenangkan.



Camping di Kandang Badak, itu ajakan pertama kepada saya, yang langsung saya iyakan. Sesampainya disana, ternyata tujuan adalah Puncak Pangrango. Saya ikuti, karena kala puncak Gede, pasti akan saya tolak. karena beberapa bulan lalu, baru meninjakan kaki di Gunung Gede, yang sangat ramai, serta sudah banyak penjaja makanannya. Kalau seperti ini sih, ada positifnya, bisa meringankan beban konsumsi kalau nanjak.

Empat orang pendaki cewe, yang sudah puluhan tahun tidak meregangkan kakinya di gunung, mencoba mendaki lagi. Langsung ke Gunung Pangrango.



Perjalanan yang tidak mudah, tapi dengan semangat 30 an, kami berangkat dan menjajal kaki dengan jalur Cibodas. Butuh sekitar delapan jam, perjalanan dari basecamp Cibodas menuju ke Kandang Badak. Perjalanan yang tidak mudah, bikin ngos-ngosan tapi menyenangkan.

Menjadi lebih semangat, karena menu makan malam yang sangat istimewa. Dengan Chef langsung dihadirkan dari Depok, Chef Emon.

Menu Makam Malam kami
Perjalanan dari Kandang Badak, menuju e Puncak secara normal ditempuh selama dua jam perjalanan. Tapi kali ini, bagi kami lebih dari itu. Padahal, tidak ada beban yang kami bawa di punggung.

Apa coba masalahnya, ternyata...kita tidak sarapan. Padahal, saat malam, menu makanan kami sangat mewah dan banyaaak...

Walhasil, jalur yang panjang dan menanjak, dengan perut keroncongan, membuat kami semakin lambat. Beruntung, teman perjalanan kami, eh mas Porter, Kang Balon. Kesalahan fatal lagi, adalah, tidak membawa trangia, jadi tidak bisa ngopi Puncak, atau di Mandalawangi. Ah..pendakian iseng banget kan...kelihatan lama ngga pernah nanjak nih...duh

Kelihatan lemes banget kaan...
Semua kelelahan, terbayarkaan dengan indahnya Mandalawangi. Puncak sih biasa saja. haaa...
Apalagi, disana saya mendapat pengalaman yang tidak enak. Menginjak "ranjau darat" alias ee orang. teganya, pendaki itu, ee di dekat puncak, dan ruangan terbuka pula. Ah...baunya jadi keinget deh...Sem.

Puncak Pangrango

Kopi terenak juga didapatkan, dari 'urunanya' pendaki-pendaki lain. Kompor pinjam dari pendaki asal Jakarta, yang dituker dengan setup pisang. Kopi, ternyata da satu disaku Kang Balon. Kopi yang enak dan bisa mengisi energi, meski tidak full. Tapi bisa membawa kami turun Kandang Badak.


Puncak Pangrango dari Kandang Badak

Poto wajib di Mandalawangi

Meski lelah, kami Bahagiaa


Keren kan kami...heee

Sebelum menanjak


Ingin lihat perjalanan mengasyikan kami di Gunung Pangrango, bisa klik https://youtu.be/dqszJq1aN_0



Tidak ada komentar:

Posting Komentar