Wisata Kekinian, Watu Meja Desa Tumiyang Kecamatan Kebasen, ketinggian aslinya ngga tahu pasti. Ngaga tingi-tinggi amat, tapi tetap bikin Ngos-ngosan. Pelan-pelan saja naiknya, atur nafas, dan akan menemukan tempat yang indah. Uwiiiw...
Papan nama sebelum menuju ke Watu Meja |
Watu Meja, tempat yang lagi kekinian banget loh. Bukan hanya
dikalangan anak muda, yang suka foto selfie, atau yang suka petualang. Tetapi
juga orang tua dan keluarga yang ingin
berekreasi ke tempat berpemandangan indah.
Watu Meja atau masyarakat sekitar menyebutnya sebagai Bukit
Badar ini berada di Desa Tumiyang Kecamatan Kebasen. Entah siapa yang
‘memopulerkan’ lokasi wisata yang berada di perbukitan daerah Kebasen ini. Saya ngga akan membahasnya, silahkan ngacung...bebas.
Lokasinya mudah dijangkau. Ngga usah pusing nanya-nanya.
Kalau dari arah Purwokerto menuju ke Pasar Patikaraja, dai sana ambil jalan ke
kiri yang menuju ke Kebasen. Setelah melewati jembatan serayu dan ketemu tugu
terus ada ke arah Kebasen, ngikutin terus jalurnya sampe nemu ada papan
petunjuk Watu Meja pake baliho. (ngga ada fotonya, lupa njepret)
Warga sekitar sepertinya cekatan melihat potensi yang ada.
Terbukti papan petunjuk sudah dengan baliho. Tidak hanya satu pintu masuk ke
Watu Meja ini, tapi saat pulang saya melihat tiga pintu lainnya di sepanjang
Jalan Raya Kebasen. Lewat mana saja terserah, jalurnya tetap nanjak dan
ujungnya satu, Watu Meja.
Tapi ada satu jalan lewat Kebasen yang bisa dilalui
menggunakan sepeda motor. Saya sih belum tahu tepatnya, kara petugas dari KHP
Banyumas Timur yang saya temui di sana, Pak Jarwo mengatakan kalau mau lewat
jalur tersebut, kalau dari arah Tumiyang menuju ke Kecamatan Kebasen, sampai ke
rel kereta api ada jalan ke kiri, nah tuh lewat situ. Tapi belok laginya kemana
belum suvei, nanya saja ke warga, atau bisa nanya ke Pos KPH Banyumas Timur.
Parkiran yang memang ditata rapih |
Kalau dari arah Cilacap, pertigaan Sampang lurus dikit
menuju ke jalan alternatif menuju ke Patikraja. Kalau mau lewat jalur Kebasen,
maka setelah rek kereta belok kanan. Kalau mau lewat Tumiyang masih lurus
terus, sampai ada rame-rame di pinggir jalan (Sudah banyak warga yang
mengarahkan jalan, red) dan petunjuk arah.
Warga yang sudah sadar wisata ini, mulai mengelola dengan
baik. Seperti parkir, ditata rapi dan diberi nomor, antisipasi tertukar atau
sengaja menukar. Tarif masuk juga ngga
ada, cuman seikhlasnya. “Namanya anak muda, gengsi dong kalau ngasih seribu,
dua ribu,”. Eh, Nama kita pun dicatet disana, biar tercatat jadi anak kekinian
gitu.
Start menuju Watu Meja..Bismillah... |
Jalur ke lokasi pun sudah ada papan petunjuknya. Kalau kita
masuk lewat pintu pertama (kalau dari arah Patikraja, red) baru mau nanjak akan
ada persimpangan jalan. Satu jalan ekstrim dengan nanjak total, tapi cepet naik
sampe puncak. Kalau ke arah kanan jalur
agak landai (tetep bikin ngos-ngosan, bahkan ada juga yang sampai pingsan
karena kecapekan, red) tapi harus memutar jadi jauh.
Anak kecil duduk di persinpangan jalan yang terjal dan landai..pilihlah, karena tujuannya sama Watu Meja |
Ditempat-tempat yang ekstrim jalannya juga sudah dikasih
bambu, antisipasi kalau hujan ngga rontok, alias jadi licin. Bambu juga
disiapkan oleh warga di tempat-tempat tertentu sebagai pegangan.
Pegangan bambu, membantu saat naik dan turun |
Di sepanjang jalan menuju ke lokasi, selain pemandangannya
variasi, awalnya ada tanaman warga, bambu dan juga pinus, juga sudah banyak
warung makanan. Warung ini juga akan semakin banyak saat diatas, atau sekitar
Watu Meja ini. Kalau ngga mau bawa bekal biar naiknya enteng, ya beli saja.
Harganya standar, mahalan di Mall-Mall heee.
Haus atau lapar? banyak warung kok |
Memang ada batu segede gaban yang bagian atasnya datar
seperti meja, dengan satu kaki penopang. Di sampingnya ada batu-batu kecil yang
menurut warga kalau itu dijadikan tempat duduk. Disekitar batu di beri pembatas
menggunakan bambu. Tulisan larangan menaiki batu, pun sering diabaikan oleh
pegunjung, terutama anak muda. Yang penting bisa selfie...waduh..jatuh baru
tahu rasa dah..(semoga jangan yaa)
“Kalau lagi ‘dapet’ jangan naik batu itu ya,” kata ibu-ibu
di Desa Tumiyang.
Areal berbahaya...mending ngga usah naik ke atas batu |
Saat ditanya kenapa?,dia tidak bisa menjawabnya. “Sudah dari
dulu gitu,” katanya. Okwelah...ingat tuh
Pemandangannya indah, bisa melihat sungai serayu dengan
liukkannya yang seperti ular, jembatan kereta api diatas sungai serayu dengan
kereta api yang mondar mandir lewat.
Sungai Serayu |
Jembatan kereta api |
Pohon-pohon pinus yang tumbuh tinggi pun
menjadi tempat foto yang indah. Semilir angin, membuat enak untuk menikmati tidur. Bahkan kalau sukses eh
beruntung, sore hari bisa menikmati sunset, kalau saya kemarin ke sana lagi
kabut. Pas udah turun ke bawah dan jalan pulang, melihat ke atas langit kok
malah terang..huft belum beruntung deh.
Indah pada waktunya |
Eh walau di bukit, ada hiburannya juga loh. Sudah ada
pengamen kentongan yang memainkan musik. Ngga keliling, cuman berdiri saja di
shelter, dengan kotak di depan mereka. Kalau-kalau ada yang punya koin atau
uang lebih mau melemparkan uangnya.
Penghibur |
Terlalu banyak orang, maklum, namanya juga tempat yang lagi
kekinian. Tentu akan berdampak terhadap peredaran sampah disana, semakin kotor
memang.
Penuh |
Walau sudah ada dua tong sampah yang sengaja disediakan dari Perhutani
di sekitar igir Watu Meja ini. Ngga akan komentar, harusnya sadar sendiri saja,
dan berusaha buat ngga ngelakui hal itu dan bahkan kalau bisa membersihkan
semampunya.
Buang lah sampah pada tempatnya |
Keberadaan Watu Meja ini, ada di hutan lindung. Itu hasil
nanya-nanya saya dengan Pak Jarwo, petugas KPH Banyumas Timur pas mau pulang.
Karena masih berada 2 km dari sungai Serayu, dan juga Bendung Gerak Serayu.
“Seharusnya ini tidak boleh dibuka untuk wisata atau
rekeasi,” katanya.
Hutan Pinus (ngga tahu pasangan ini apa, tapi posisinya pas banget saat motret) |
Tapi pihaknya tidak bisa membendung banyaknya masyarakat
yang penasaran dengan keberadaa Watu Meja dan keindahan pemandangannya. Dia pun
hanya meminta kepada masyarakat sekitar, terutama para pedagang untuk mau
membantu menjaga kelestariannya.
Habis makan jangan lupa buang di tong sampah yang sudah disediakan |
“Sudah berkoordinasi dengan warga, ikut menjaga
kebersihannya. Dan juga sudah meminta kepada pengunjung untuk menjaga
kebersihan, buang sampah jangan sembarangan lewat spanduk dan baliho, kita
sudah sediakan dua tong sampah. Tapi nyatanya mau tidak mau tetap kotor saja,”
katanya.
Menurutnya, saat ini yang terpenting adalah pohon yang ada
masih ada sepert semula, tidak dicorat coret, atau di’kerok’ getahnya. Selain
itu juga batok-batok yang ada disana masih tetap ada, tidak dipecah atau
diambil pengunjung.
“Yang penting sih kalau batok-batoknya masih ada, dan tidak
ada yang berubah disini,” ujarnya.
Hutan Pinus yang merupakan hutan lindun, mengingatkan Film Vampir auuuu |
Sampai saat ini, dari Perhutani tidak meminta ‘jatah’ retribusi
sukarela yang diberikan kepada warga dari pegunjung. Hany akan
meminta kepada warga untuk menyisihkan sebagian ‘penghasilan’ nya itu untuk
merawat Hutan Lindung, seperti untuk kerjabakti bareng membersihkan sampah, atau
memperbanyak tempat sampah. Selain itu juga untuk membuat gazeb-gazebo untuk berteduh
atau sekedar tempat duduk.
Okweh....bagi semua yang mau dateng ke sini, ngga cuman
kekinian bisa foto buat depe di sosmed, tetapi juga harus jaga kebersihan. Jaga
lingkungan hutan agar tetap bersih seperti sebelumnya.
“Peduli lingkungan (Ngga buang sampah, ngga corat-coret, ngga merusak fasilitas umum, ngga melanggar peraturan yang ada,) bikin kau awet muda loh,” aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar