Kamis, 29 Desember 2016

Samudera Hindia di Gunung Selok View


Selok View dengan background Samudera Hindia

Melakukan pendakian ke Gunung, banyak yang harus dipersiapkan. Mulai dari peralatan seperti tenda, SB, matras, alat masak, carrier, dan lainnya. Belum lagi harus mempersiapkan fisik agar kuat membawa perlengkapan dan diri menuju ke puncak.

Peralatan dan Perlengkapan Pendakian Gunung

Tapi tidak berlaku saat naik ke Gunung Selok, yang berada di Desa Karang Benda Kecamatan Adipala. Menuju Gunung yang dikenal sebagai objek wisata religi ini tidak perlu membawa peralatan dan perlengkapan seperti akan naik Gunung sesungguhnya (kecuali kalau mau camping di sana ya..). Cukup bawa uang, kendaraan, dan juga kamera (untuk mengabadikan gambar tentunya).

Gunung yang memiliki ketinggian sekitar 200 meter diatas permukaan laut (mdpl) ini memang kental dengan karisma mistiknya. Bagaimana tidak, di kawasan ini memang dari dulu sudah menjadi pusat spiritual kejawen dan beberapa kepercayaan dan agama Hindu dan Budha.

Meskipun demikian, ada tempat asik yang bisa kita sambangi di Gunung Selok ini. Namanya, Gunung Selok View, dari titik ini kita bisa melihat indahnya pemandangan. Bukan hanya pemandangan pegunungan, sawah dan juga pepohonan, tetapi kita bisa melihat luasnya Samudera Hinda.

Pintu masuk ke Gunung Selok

Menuju ke Gunung Selok ini cukup mudah. Jaraknya sekitar 10 km dari Kecamatan Adipala (kurang lebih ya, belum saya ukur soalnya) atau di belakang Puskesmas Adipala. Sudah banyak penunjuk arah menuju ke lokasi wisata alam yang masuk dalam kawasan Perusahaan Umum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur ini.

Dari gerbang utama arah Gunung Selok, masuk dengan membayar retribusi Rp 4.000.  Lanjut menuju ke lokasi Selok View tidaklah jauh, tidak sampai lima menit berkendara. Jalannya memang sebagian sudah bagus, tapi sebagian aspalnya sudah terkikis, meski begitu masih aman untuk semua kendaraan kok. Yang penting hati-hati.

Lokasi Parkir Selok View
Cukup merogeh saku untuk membayar retribusi masuk sebesar Rp 2.500, serta uang parkir Rp 3.000. Lumayan murah untuk melihat pemandangan yang menajubkan.

Ada warung-warung warga
Di area parkir ada beberapa warung yang menjual makanan dan minuman. Khasnya mendoan dan kopi, so bagi yang tidak membawa bekal bisa mampir di warung-warung warga.

Jangan lupa membaca Basmalah ketika masuk ke tempat ini...bukan apa-apa sih, hanya kebiasaan saja. Tidak lama-lama jalan dari tempat karcis menuju ke deck selfie yang ada di Selok View ini. Jalan pun tidak sampai 10 menit, jalannya juga tidak begitu menanjak. Aman bagi yang belum biasa naik gunung.

Perjalanan juga tidak akan terasa, karena kanan kiri jalan setapak masih rimbun tanaman, jadi masih terlihat sejuk karena adanya semilir angin diantara pepohonan itu.

Jalan setapak menuju Selok View dengan pohon yang masih rimbun
Eh....di sepanjang jalan dan lokasi juga sudah banyak tempat sampah yang di sediakan. Bukan menggurui, tetapi sebagai sesama penikmat alam, manfaatkan tempat sampah tersebut untuk membuang sampah dari makanan atau minuman yang kita bawa.

Tempat sampahnya ngga kelihatan ya..
Di lokasi, semua sudut bisa dijadikan background selfie. Bagaimana tidak, saking indahnya lokasi ini bikin, mata tidak bisa lepas dari kamera. Jeprat-jepret sana sini. Bahkan informasinya saat ini, sudah ada beberapa spot baru yang dibangun, rumah pohon. okeh, kapan-kapan kalau ke sana lagi, mesti update foto nih.

Titik Selfie


Antri di Deck Selfie


Kursi kayu love-love


Deck Selfie dari titik bawah


Ayunan untuk bersantai

Ayo piknik. Tidak usah jauh-jauh, di Cilacap aja banyak lokasi keren. Jangan lupa pemandangan indah di sana, jangan cuma diabadikan melalui kamera saja. Tetapi keindahannya diabadikan di hati, biar terkenang terus.
Cekreek


Minggu, 02 Oktober 2016

Sunrise di Punthuk Setumbu

Wisata Alam Borobudur Nirwana Sunrise
Bagi yang sudah nonton Film Ada apa Dengan Cinta, sudah tahu persis apa itu Punthuk Setumbu. Bagaimana tidak, lokasi wisata yang ada dekat dengan Borobudur, Magelang ini lagi nge-hits abis.

Melihat indahnya Nirwana Sunrise dari sisi lain dunia, yang menyembul dari Gunung Merapi dan Merbabu. Tidak hanya itu, dari lokasi dengan ketinggian sekitar 400 meter diatas permukaan laut ini kita bisa melihat indahnya candi terbesar di dunia, Borobudur.

Informasi terkait Punthuk Setumbu
Sama halnya para wisatawan yang lagi kekinian, Kita pun juga tidak ingin kalah dengan mereka. Karena itu, waktu ke Yogyakarta, kemarin kita sangat semangat untuk 'mencicipi' lokasi wisata yang ada di Karangrejo Borobudur, Magelang.

Pagi buta, sekitar pukul 03.00 WIB, Saya dan teman-teman yang menginap di Kota Yogyakarta ini sudah siap untuk berangkat menuju ke Magelang. Menggunakan mobil carter, dan lima orang ditambah satu guide, teman dari Yogyakarta menuju ke Magelang.

Ngantuk dan kurang tidur, tidak menyurutkan rombongan ini melihat indahnya Sunrise, selain di Gunung Prau, Dieng, Gunung Slamet, Gunung Rinjani, di Rabukumbolo atau bahkan di Tranggulasih.

Sunrise di Tranggulasih, yang juga kelihatan Gunung Merapi dan Merbabu
Hujan dan gerimis di sepanjang perjalanan hampir membuat hati ini ciut bisa mendapatkan sunrise yang ditunggu-tunggu. Sepanjang perjalanan pun berdoa, agaar di lokasi kejadian (eh emang, tkp kriminal) tidak hujan, bahkan terang benderang.

Doanya ternyata belum terkabul, sepanjang jalan masih gerimis walau kadang ada beberapa lokasi yang dilewati tidak ada rintik hujan. Meskipun demikian, kita tetap menuju ke sana dan menyelesaikan misi kita.



Sampai di loksi, setelah parkir, gerimis masih turun sedikiiiiit. hawa dingin langsung menusuk tulang, walau hanya ketinggian tidak seberapa, tetapi hujan dan udara pagi yang saat itu sekitar pukuul 05.00 WIB, membuat udara menjadi dingin. (ngga ada foto, karena gelaph)

Setelah membeli tiket masuk seharga Rp 5.000, semua naik menuju ke Puthuk Setumbu yang berada di gugusan pegunungan menoreh. Jalannya sudah baik, setapak bertangga dengan cor-coran dari semen meskipun masih ada yang dibiarkan tanah, Sebelah kanan atau kiri jalan ada bambuu untuk berpegangan, terutama di tempat yang membahayakan. (ngga potoh, karena kamera di dalam tas,..hujaan)

Wisatawan asing dan lokal bercampur, berharap melihat Nirwana Sunrise di Punthuk Setumbu

Hati-hati kepleset Mba Broo...
Kanan atau kiri jalan juga sudah banyak warung kopi yang dibangun permanen atau bangunan dari anyaman bambu. Gerimis yang turun, membuat jalan basah dan licin, apalagiada lumpur akibat jalan yang masih bertanah.

Lumpur alias belet
Tingginya tidak seberapa, jalan naiknya juga tidak seberapa lama, hanya sekitar 10 menit kurang, tetapi terasa berat. Sandal dan kaki sudah penuh lumpur dibagian bawah. Sehingga sekali-kali harus berhenti untuk membersihkan alas kaki, agar tidak terlalu berat.

Becyeek

Tidak hanya di perjalanan, sampai di atas, di tanah lapang dimana tempat melihat sunrise tersebut. Banyaknya orang yang sduah ada disana, membuat jalan semakin gembur, lumpur pun semakin tebal, 5 cm lebih. Jika tidak berjalan hati-hati, maka terpatri atau bisa terpeleset.



Ini kaki petualang (tidak) cuantiiik

Bersih-bersih sandal terus
Sampai diatas, sudah tidak ada tempat di pinggi pagar untuk melihat Sunrise dari Puthuk Setumbu. Ditambah lagi kabut masih menari-nari menutup matahari, dan hijaunya daun, dan juga stupa-stupa dari Candi Borobudur.



Meskipun begitu, semua yang wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri, tetap menunggu. Berharap, masih ada setitik asa warna orange dari sunrise mucul, walau terlambat. Ditunggu-tunggu
cahaya matahari yang muncul pun tetap terlihat abu-abu.



Sempat beberapa detik, kabut yang menutup Candi Borobudur, tersingkap. Meskipun, masih ada kabut tipis yang masih menutupinya, mata ini masih bisa melihatnya. Hmmm..coba kalau...



Di lokasi juga ada gazebo yang bisa untuk duduk dan istirahat, kita bisa makan dan minum disitu. untuk menghialngkan kegalauan setelah tidak mendapatkan sunrise. Gazebo ini juga bersebelahan dengan gardu pandang, kaya di film Baywatch gituh..alias buat melihat dan memantau wisatawan yang datang ke sana.



Sudah sampai ditkp, ada atau tidak ada sunrise tetap harus diabadikan. Bukan hanya biar kekinian, tetapi juga agar bisa mengenang penah ke Punthuk Setumbu, Meskipun tidak mendapatkan bonus Nirwana Sunrise. So...lain kali harus ke sana lagi nih...
Menunggu terus sampai....

Kalau mau berkunjung ke lokasi ini, mending saat musim kemarau. Seharusnya kemarin ke sana, masih musim kemarau. tapi karena adanya pengaruh La Nina membuat kemarau yang ada di Jawa bagian Selatan disertai hujan, alias kemarau basah.

Rabu, 24 Agustus 2016

Mencari Sunset Sampai ke Gunung Api Purba

Latar Belakang Gunung Api Purba yang fenomenal dengan model cetaar

Namanya gunung ya harus didaki, kalau ingin menuju puncaknya. Tapi kali ini jalan-jalannya tidak pakai mendaki, walau mainnya ke gunung. Kita menuju ke Gunung Nglanggeran yang berjarak 25 km dari Yogyakarta, hanya untuk mencari Sunset.

Bahagia kaaan...
Naik mobil, foto-foto dan menikmati sore hari di Gunung Ngalenggeran, di Desa Nganggeran Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul Yogyakarta, hanya itu. Jauh-jauh dari Surabaya dan Cilacap kita menuju ke Gunung Nglanggeran yang merupakan Gunung Api Purba. Menurut Wikipedia terbentuk dari pembekuan magma yang terjadi kurang lebih 60 juta tahun lalu.

Gunung Api Purba
Gunungnya tidak seperti gunung biasa yang berbentuk seperti segitiga kalau kita gambar di buku. Tetapi merupakan bebatuan yang  berjajar tidak beraturan. Warnanya pun seperti zebra, dominasi hitam putih tidak beraturan. Batuan itu merupakan batuan beku andesit, lava dan breksi andesit, ini kata Wikipedia ya.

Jangan tanya, jalur menuju ke puncak pegunungan api purba ini. Karena sudah sore, jadi memang enggan untuk naik. Selain itu juga memang kesana tidak untuk camping. Kapan-kapan saja..heee

Saat masuk ke Desa Nglanggeran saja, sudah takjub dengan keberadaan batu-batu yang super besar di pinggir jalan, atau berada di sekitar rumah warga. Berfikir, bagaimana batu segede gaban bahkan lebih dari gaban itu bisa berada di sana…?

Area parkir dari atas tangga menuju ke embung
Sampai di parkiran di objek wisata yang sudah dikelola ini, kita akan takjub dengan di seberang ada gunung api purba, yang usianya lebih tua dari nenek moyang kita. Eh..masuk ke objek wisata ini satu orang dikenakan sekitar Rp 10 ribu kali ya, lupa kemarin bukan saya yang bayar soalnya.

Naik Brooh....

Sore itu masih banyak yang menikmati suasana di sekitar Gunung Ngalenggeran ini, apalagi kalau tidak menikmati sunset. Lebih OK nya sih, kalau menikmati sunset ini berada di sekitar embung Nglanggeran yang berada satu objek dengan Gunung Api Purba ini. Dari area parkir, kita harus naik tangga untuk menuju ke Embung yang digunakan untuk mengairi sawah warga ini. Tidak dihitung berapa jumlahnya, tapi lumanyan menguras tenaga. Sampai diatas, pas banget waktunya matahari tenggelam di barat.

Full Zoom

Sunset yang tetap sempurna
Kabut dan awan yang menutup separuh matahai tenggelam ini tidak mengurangi keindahan sore di Gunung Api Purba dan Embung yang berada di ketinggian ini. Apalagi saat cahaya matahari sore ini bercampur dengan warna dari air embung. Wuiih….bagi pecinta fotografi ngga bakal melepaskan. Wew, ajiib.

Sunset di Embung
Disini sudah nyaman, banyak tempat sampahnya, jadi mempermudah para wisatawan yang akan membuang sampah, jadi ngga sembarangan. Kamar mandinya juga ok, airnya dingiin. Dan sudah ada warung-warung mie yang ada di sekitar embung maupun di bawah, atau parkiran. Aman, nyaman deh, tapi yang terpenting ikuti tata aturan yang ada.

Desa Mawa Cara, Negara Mawa Tata
Dilarang!!

Diareal parkir juga ada beberapa informasi yang disediakan oleh pengelola wisata. Mulai dari agrowisata di desa tersebut, sejarah pembuatan embung dan juga da kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan di Desa Nglangegran ini. 

Papan Informasi
Sejarah Pembuatan Embung
Berdasarkan informasi, di Desa Nglanggeran tersebut juga da berbagai wisata lainnyya, seperti wisata air terjun Kedung Kandang. Lagi-lagi sudah sore yak, kapan-kapan lagi. Heee…coba aaja ke Gunung Api Purba ini, asiiik…mungkin asik lagi kalau sampai puncaknya ya. 

Embung dan Gunung Api Purba

Senin, 08 Agustus 2016

Lelah, Tertebus di Pantai Kalimpat

 
Pantai Kalimpat, Nusakamangan

Kali ini masih jalan-jalan ke Pulau terlarang di yang masih masuk ke wilayah Cilacap, mana lagi kalau bukan Nusakambangan. 

Kalipat atau Kalimpat, satu spot pantai yang sudah lama dengar namanya. tetapi belum pernah ke sana. Satu karena dulu tidak tahu lokasinya, dan dua karena tidak tahu tempatnya. heee...sama saja

Tim jelajah Kalimpat
Kunjungan ke Pantai Kalipat, kemarin tidak disengaja. karena awalnya memang hanya akan menemani, teman yang lagi kasmaran menuju ke Pantai Pasir Putih arangbolong di Nusakambangan. Soalnya keduanya belum pernah ke Nusakambangan yang dikenal dengan Pulau Penjara. 

Ternyata perahu wisata yang menyebrangkan kita ke Nusakambangan, mengatakan untuk ke pasir putih sedang di tutup sementara dan hanya sampai di Pantai Karang Tengah. Baliau tidak memberikan penjelasan banyak alasan tidak boleh ke sana. 


Pasangan Baru nya nihh...
Awalnya was-was, karena saat itu sudah hampir pukul 14.00 WIB. Estimasi ke Selokpipo sekitar 30 menit dan medannya yang lumayan, dan ada juga Kalipat atau Karangbandong yang waktu itu kita telusuri selama dua jam, belum nemu ujungnya. Tapi, karena semangatnya pasangan baru itu akhirnya, nyebrang saja. 

Satu warung diantara beberapa warung lainnya
Sampai di Pantai Karangtengah, langsung mengerutkan dahi. Bagaimana tidak, sangat berbeda dengan terakhir saat kunjungan ke sana. Sudah banyak warung, daaaaan…ada guide nya loh.

Semua pengunjung yang baru menyebrang, langsung bakal di tawari sama pemuda atau orang yang ada di sekitar sana untuk dipandu   menuju ke Kalimpat. Mereka tidak menawari kita ke Selokpipa atau ke Karangbandung. Penawarannya pun harus, karena menurutnya jalannya ngga jelas.

Tarifnya mau tahu? Untuk wisatawan asing Rp 450 ribu dan wisatawan lokal Rp 150 ribu. Dan yang lebih parahnya lagi, “Harga ini ngga bisa ditawar mba,” kata satu orang pemandu. Whaaaaat??!!!.

Rombongan yang menggunakan Pemandu 
Sambil mancing2 arah jalannya, itu pemandu bilang kalau nanti ada pertigaan kecil. Yang lurus ke arah Karangbanddong, dan yang belok ke kanan ke arah Kalimpat. Walau belum tahu arah sebenarnya, tetapi akhirnya nekat saja jalan ke sana. Harapannya di depan banyak orang yang bisa ditanyai.  

Tapi sebenarnya, satu lagi…sebagai mantan Mapala, jangan malu-maluin nyari jejak di alam. Masa kalah sama orang-orang itu…heee…

Lagi mesra-mesranya, jadi masih saling bantu..hiii
Akhirnya diputuskan jalan berempat, pelan-pelan asal kelakon. Kita akan melewati jalan berbatu di tengah hutan. Awalnya naiiii……..ik terus dan berkelok-kelok. Sepanjang jalan kanan kiri kita rimbun dengan pepohonan. Anehnya, tidak ada angin yang menggoyangkan mereka. Membuat selama perjalanan menjadi gerah.

Kira-kira sudah satu jam perjalanan, deburan ombak samudera selatan terdengar dari perjalanan. Rasanya sudah ngos-ngosan, dan berat badan sudah turun melalui keringat yang keluar. Setelah turunan pasti akan menemukan turunan jalan. Tandanya setelah ada pohon yang melintang di jalan, setelah itu turuuun…ada naik sedikit sih, tapi ngga banyak

Samudera Hindia, terlihat dari sela-sela bukit di Nusakambangan
Satu jam perjalanan lebih, sempat membuat frustasi. Karena kelihatannya memang masih jauh, apalagi melihat orang yang pulang berpapasan dengan kami, mereka terlihat terengah-engah dan kelihatan capai sekali. Mau tanya pun malu, karena selalu ditanya sama pemandu mereka terlebih dahulu, kenapa tidak memakai pemanadu. Ya..karena kita tahu jalannya laaah….hakaaa…padahal, kaya mencari jejak.

Ini nih persimpangan jalannya, sengaja di blur..permintaan
Saat jalan sudah mulai menurun, akan ada pertigan kecil. Satu jalan utama yang masih berbatu, dan jalur ke kanan dengan setapak dairi tanah. Jika tidak memperhatikan lebih, pasti bakal terlewati seperti waktu pertama saya sebelumnya. Tapi dengan semangat dan penciuman yang tajam akan jejak-jejak orang, pertigaan menuju ke Kalimpat kita temukan, walau tanpa pemandu…Ha…Ha…Ha….(ketawa bangga loh).

Tertawa bahagiaaa....
Dari pertigaan itu, kita akan menuruni bukit, yang lumayan curam dan licin. Tapi ada beberapa turunan sudah diberi akar tali, untuk kita berpegangan. Hati-hati saat turun, karena kanan kiri kita juga ada jurang. (bukan jurang pemisah sih).


Turunan licin broo

Melihat pantai Kalipat, rasanya senang sekali seperti menemukan surga (padahal belum pernah lihat surge ya). Lelah hampir dua jam perjalanan terbayarkan. Sekitar pukul 16.00 WIB, sampai di pantai yang dikelilingi dengan tebing-tebing ini.

akhirnya..pantai
Pantai dengan pasir putih lainnya yang ada di Nusakambangan. Walau pasir putihnya kasar, karangnya pun tidak sebanyak seperti di Selokpipa. Bekas kerang-kerang kecil bertaburan di pinggir pantai. Saat surut, air lautnya bening, dengan banyak binatang-binatang laut disana.

Menikmati Pantai nih

Bening kaan

Buat Selfie juga keren

Ngga tahan buat berendam

Bebas terbang juga kan

 Suara deburan ombak samudera membuat suasana semakin pilu. Suaranya yang keras, memecah kesunyian di Pantai Kalimpat yang harus ditempuh dengan perjuangan.

So..bagi yang akan ke sana siapkan fisik, bekal makanan dan minuman yang cukup dan pakai pakaian yang nyaman, tipis dan menyerap keringat. Ngga usah bawa jaket, karena selama perjalanan pasti di copot, hawanya panash. Dan terutama adalah kamera….

Berat meninggalkan Pantai Kalimpat
Kalau saja, kita berangkat lebih pagi, pasti akan lebih banyak ambil gambar dan jalan-jalan, bahkan mungkin guling-guling di  Pantai Kalimpat yang keren abis ini. Tapi karena kita sudah sore sampai disana, dan agar tidak kemalaman, kita pun hanya sekitar 30 menit disana…..Yah…tidak apa-apa...lelah terbayarkan. walaupun, harus lelah-lelah lagi untuk kembali ke Cilacap. Hosh....Semangat!!!!

Hello from the otherside