Senin, 14 Oktober 2019

Sapa Wani #17 Dari Klothekan Lesung sampai Penampilan Pelukis Suhadi Gembot




Suara kothekan lesung menyambut saya, saat mampir di gelaran Sapa Wani ke-17 di Lengkong Kelurahan Mertasinga Kecamatan Cilacap Utara Sabtu malam (12/10) lalu.. Alunan lesung dimainkan oleh grup Arum Sari ini menjadi daya pikat para fotografer dan videografer untuk mengabadikan, termasuk saya.



Saya datang di malam terakhir, gelaran budaya yang digagas para seniman Cilacap, yang mulai dibuka sejak Kamis (10/10). Ternyata tidak hanya klotekan lesung, ada tari-tarian tradisional yang ditampilkan, seperti tarian Bambangan Cakil, tari Gambyong, tari Manipur, Lenggeran, tarian jamu gendong hingga tari Srikandi Mustoko Weni.

Suasana tampak lebih menyatu, karena lokasinya berada di tengah areal persawahan kering. Memedi sawah dari jerami tidak ketinggalan dipamerkan.

Lukisan-lukisan dari para pelukis kenamaan pun dipamerkan, bahkan tidak ketinggalan foto-foto hasil karya fotografer Cilacap juga dipajang. Menariknya lagi, juga menampilkan pelukis Bejo Supit, dan juga Budi Wibowo.



Sebagai puncak rangkaian acara pada Sabtu malam kemarin, digelar pertunjukan melukis yang langsung dilakukan oleh pelukis Purbalingga, Suhadi Gembot. Uniknya, dalam pertunjukan melukisnya kali ini, dia berkolaborasi pertunjukan ebeg dan laesan.

Dalam rangkaian acara puncak inj, juga digelar beberapa kesenian, berupa Jambelan atau doa rasa syukur petani atas panen yang melimpah, tari massal petani, tari Srikandi Mustoko Weni, dan juga guyon maton campur sari.

Bambang Jos, seniman asal Cilacap yang menjadi penyelenggara ini mengatakan, Sapa Wani ini merupakan kegiatan yang rutin digelar oleh para seniman Cilacap. Dalam penyelenggarannya, lokasi selalu berpindah-pindah. Kali ini digelar di areal persawahan.



Meskipun berada di tengah areal persawahan kering, mampu menarik ratusan warga sekitar dan Cilacap untuk menyaksikan pentas seni yang menyuguhkan budaya Indonesia ini. Tua muda berbaur menjadi satu di bawah cahaya bulan purnama.

Gelaran Sapa Wani, menampilkan berbagai kesenian budaya Jawa, ini kata dia sebagai upaya untuk memperkenalkan sekaligus mempertegas bahwa budaya Jawa perlu untuk dilestarikan.

“Melalui kegiatan ini, kami para seniman ingin kembali mengingatkan anak muda mengenai budaya kita, generasi muda juga dipacu agar semangat berkreasi, berkreativitas dan punya keberanian jangka panjang,” katanya.

Dengan sukarela, tanpa pamrih, dan niat ingin melstarikan budaya, puluhan seniman dari berbagai daerah seperti Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Solo dan lainnya ini pun turut andil dalam mbaranggawenya seniman Cilacap ini.

“Semua yang datang ini yang peduli akan seni, tanpa ada yang memerintah, membayar, semua pengisi datang sendiri, makanya namanya Sapa Wani atau dalam bahasa Indonesia ‘Siapa Berani’ ayo tampil, panitia hanya memfasilitasi panggung,” ujarnya.



Gelaran malam terakhir Sapa Wani #17 ini mampu menyedot ratusan masyarakat. Mereka antusias karena penampilan pelukis Suhadi, bersama dengan ebeg. Atraksi Bambu Gila menjadi penutup acara kegiatan yang digelar setiap bulan sekali. (ale)

Ketemu Mantili, dan Si Buta dari Goa Hantu di Kampoeng Pendekar




Beberapa tahun lalu, ketika masih usia Sekolah Dasar, da banyak sinetron-sinetron bertemakan pendekar. Kala itu, selalu berandai-andai, jika menjadi pendekar seperti apa. Membasmi kejahatan, membantu yang lemah, menumpas kejahatan, dan pastinya sakti. 

Seringkali bermain 'gelut-gelutan' dengan teman, seolah-olah seperti pendekar. Waktu berlalu, meski saat ini masih ada sinetron, tapi sudah tidak tertarik lagi menonton sinetron-sinetron. Keinginan bertemu pada pendekar pun tidak sesemangat dulu. 

Tapi, bertemu pendekar, masih menjadi PR. So, saat ada Kampoeng Pendekar yang mengambil tema tempo dulu, dan bisa bertemu dengan pendekar-pendekar saya pun tertarik. Meski, Kampoeng Pendekar yang merupakan sebuah lokasi wisata budaya ini mengadopsi seperti wisata-wisata kekinian, yang menampilkan pasar dengan isi jajanan pasar, jajanan lawas, jajanan tradisional, dengan mengeepankan budaya. Sudah banyak wisata seperti ini, saya beberapa kali mengunjungi wisata seperti ini, rasanya sama. 

Bedanya, kali ini berada di Cilacap, tepatnya ada di Desa Sidaurip Kecamatan Binangun. Perjalanan ke sini sekitar 60 menit dari kota Cilacap. Akses jalannya pun mudah ditemukan, sudah bisa diakses di google map. 

Ramai, begitu memasuki gang menuju ke Kampoeng Pendekar. Baru minggu ke-2 dibuka, tentu masih banyak yang datang, karena penasaran dengan kampung ini. Terutama, kampung ini berada di tengah-tengah pemukiman warga. 

Warung--warung kecil berjajar di sepanjang jalan menuju ke Kampung Pendekar, membuat saya awalnya bingung mencari pintu masuk. Tetapi dengan mengikuti arus warga, akhirnya ketemu pintu masuk. Sebelummasuk, membeli tiket di loket dengan harga Rp 3.000. 

Dipintu gerbang, kita bakal disambut oleh dua orang pendekar yang siap mengecek karcis kita. Disini bisa foto, kalau antri ya jangan, kasihan pengunjung dibelakangmu. 




Suasana kampung pendekar ini sudah dimulai sejak pintu masuk. Dimana ada dua orang pendekar, Sibuta dari Goa Hantu dan pendekar lainnya, siap menunggu para pengunjung di depan pintu masuk Kampoeng Pendekar. Begitu juga di dalam kampoeng, seluruh petugas mengenakan pakaian Jawa. 

Bahkan, penjaja warung-warung yang ada di dalam juga mengenakan pakaian Jawa. Makanan yang dijual pun merupakan jajanan lawas, seperti dawet, rujak bebek, ketan, olahan dari ubi, dan lainnya. 

Namun, untuk membeli makanan yang ada, harus menggunakan uang kayu, atau uang kepeng. Mata uang tersebut bisa ditukarkan di tempat yang sudah disiapkan. Satu kepeng seharga Rp 2000. Petugas yang mengenakan pakaian seolah Mantili ini yang bertugas menukarkan uang-uang kepeng tersebut.

Benar-benar seperti tempo dulu, semua makanan yang dijual, tidak menggunakan plastik sebagai pembungkusnya, melainkan menggunakan daun pisang, dan juga piring dari tanah liat. Untuk gelasnya menggunakan bambu. Ini sebagai upaya untuk mengurangi sampah plastik.

Pengunjung pun bisa lebih merasakan berada di zaman dulu, dengan menyewa pakaian Jawa yang disiapkan di sana, dan berfoto di spot-spot yang sudah disiapkan. 


Kampoeng Pendekar, ini merupakan inisiatif para pemuda-pemuda desa tersebut yang tergabung dalam paguyuban Putra Langgen Jagad, Tangker Wijayakusuma dan Generasi Pesona Indonesia (GenPi) Kabupaten Cilacap. Dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas PEmuda dan Olahraga Kabupaten Cilacap Heroe Harjanto pada Minggu (2/9) lalu.

"Kita mengambil tema kekunoan, dan makanan yang ada pun tradisional, ada mainan bocah, serta pertunjukan kesenian tradisional," ujar Wawan, Founder Kampoeng Pendekar.

Wawan mengatakan melalui kampung Pendekar ini sebagai wadah melestarikan sejarah dan budaya, terutama kepada para generasi muda. Agar mereka akan terus belajar dan menghargai budaya sendiri. 

Selain itu juga sebagai wadah para komunitas-komunitas seni, untuk menampilkan karya-karyanya. Karena setiap minggu akan ada pertunjukan yang ditampilkan kepada pengunjung.

"Setiap minggu ada pertunjukan seni musik, kita akan gandeng komunitas, kerjasama dengan sekolah untuk mengisi disini, ada pencak silat, tari-tarian, musik etnik dan lainnya," katanya.

Meskipun dibangun secara swadaya, pemerintah desa turut mendukung adanya Kampoeng Pendekar ini. Pihaknya juga berharap medapat dukungan dari Pemkab Cilacap untuk pengembangannya. Sehingga kedepan Kampoeng Pedekar ini bisa menjadi Desa Wisata di Cilacap.

"Kedepannya ingin ada pengembangan lebih gede, dan kami berharap perhatian pemerintah dengan membantu konsep, agar budaya kita tetap terjaga kedepannya," katanya.

GenPi Kabupaten Cilacap Faiz mengatakan Kampoeng Pendekar ini merupakan sinergi untuk membangun wisata di Cilacap. Genpi, kata dia juga mendukung dari segala lini, terutama segi promosi.

"Konsepnya ini menjadi destinasi digital, dengan dipromosikan melalui digital melalui media sosial," katanya.

Buktinya, pada minggu pertama di lounching, masyarakat berbodong-bondong datang. Sama halnya dengan minggu kedua. Kebanyakan dari mereka mengetahui adanya Kampoeng Pendekar ini dari media sosial.

Wisata ini dikembangkan dengan menggali potensi yang ada. Sehingga diharapkan kedepan bisa berimbas terhadap masyarakat sekitar, bukan hanya mereka yang bersinergi di dalam Kampoeng Pendekar. 

Pasalnya, di luar lokasi Kampung Pendekar ini juga dipenuhi dengan pedagang-peagang kaki lima yang berjualan.

"Ini juga menunjukan meski bukan pusat keramaian desa, tapi masih bisa dikembangkan, jadi sebuah potensi tidak harus apa yang sudah ada tetapi bisa digali," katanya.

Untuk masuk ke kampung in, cukup bayar Rp 3.000/orang. Sedangkan untuk parkir rp 1.000 untuk sepeda motor, dan Rp 3.000 untuk mobil. 

Rania, satu pengunjung mengatakan jika penasaran dengan destinasi wisata baru di Cilacap ini, Kampoeng Pendekar. Meski berada satu jam darikota Cilacap, dia dan teman-temannya rela menempuh perjalanannya.

"Penasaran, karena di Instagram keren-keren banget fotonya, jadi ke sini. tempatnya asri, dan unik, karena ada pendekar-pendekar," kata warga Cilacap ini. (ale)