Anak Cucu Kalikudi berjalan kaki dari kalikudi menuju ke makam leluhur mereka di Daun Lumbung |
Berjalan kaki puluhan kilometer sudah pernah saya rasakan saat mengikuti Pendidikan Dasar (Diksar) saat masuk ke Unit Pandu Lingkungan Mahasiswa Pecinta Alam (UPL MPA) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) tahun 2003 silam.
Perjalanan sekitar 60 km lebih ini ditempuh selama hampir 14 hari. Tentu saja setiap hari tidak berjalan, sudah dijadwalkan ada kegiatan setiap harinya. Tapi kali ini bukan membahas tentang Diksar saya, melainkan para Anak Cucu Kalikudi, penganut kepercayaan dari Kecamatan Adipala.
Siang itu, sekitar panas terik di tanggal 10 Bulan Syawal, puluhan orang berjalan dengan mengangkut pikulan di bahunya. Dengan berpakaian sederhana dan tidak lupa dibalut dengan kain atau sarung, mereka berjaln beriringan.
Sedikitnya sepanjang 45 kilometer tidak
menyurutkan langkah para anak-putu Kalikudi yang akan nyawal atau pudunan atau turunanke tempat
leluhurnya di Cilacap. Mereka akan bersilaturahmi dan juga menilik leluhur
mereka yang ada di makam Daunlumbung Kelurahan Tegalreja Cilacap.
Dengan niat ingin nguri-nguri budaya, mereka berangkat dari
Desa Kalikudi Kecamatan Adipala sejak pukul 08.00 WIB. Bersama-sama membawa bahan yang
belum dimasak, berupa beras bumbu masakan, ayam yang masih hidup tempe, minyak
dan laiinya. Bahan makanan itu diletakkan dalam keranjang yang dipikul
oleh para lelaki, anak-putu keturunan
Kalikudi
Mbah Wongsa Dikarya, sesepuh Anak Putu Kalikudi atau yang disebut Paguyuban Resik Kubur Jero Tengah (PRKJ)
ini mengaku kedatangan kereka dari Adipala ke Cilacap ini untuk Nyadran. Sudah rutin dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Ini dilakukan untuk
mengingatkan anak-cucu kepada leluhurnya, bahwa mereka ada didunia ini berkat
adanya para leluhur.
“Kudu eling karo leluhur, karena kita hidup juga karena
mereka. Ini juga sebagai tempat untuk silaturahmi,” kata keturunan Majapahit ini.
Jalan kaki dari desanya di Kalikudi sampai ke Cilacap, kata
dia sudah diatur sejak dulu, dan tidak berubah sampai sekarang. Walaupun banyak
perubahan jalan yang diaspal, namun tidak merubah rutenya.
“Sudah ada dari dulu, ya kaya gini. Kita hanya nuruti saja,”
katanya.
Walaupun saat ini merupakan jaman modern, kata dia tidak ada
anak-putu yang dipaksa untuk ikut melakukan tradisi ini. bahkan, dengan
kesadaran diri, mereka mengikuti prosesi ini dengan baik. Pasalnya, sejak kecil
mereka sudah ditanamkan untuk selalu senantiasa mengingat para leluhur mereka.
“Tidak ada paksa, bahkan mereka anak-anak muda ini sangat
anusias, mereka yang membawa bekal makanan dan menggotongnya. Ini kaya jadi
ngamalan, ngibadah mereka buat para leluhur,” kata.
Sementara jalan kaki, mengingatkan akan nenek
moyangnya sejak dulu yang selalu berjalan kaki untuk bersilaturahmi ke tempat
nenek moyang. Sehingga walaupun sudah ada mobil dan kendaraan, ini tidak
digunakan.
Selama menuju ke tempat para leluhurnya ini, mereka ada lima kali berhenti, biasanya istirahat dilakukan di Adipala,
Karangkandri, Gumilir, dan Pasar Sangkalputung.
Para sesepuh beristirahat di Jl Suprapto atau sekitar Pasar Sangkalputung Cilacap |
Sesampainya di padepokan Daun Lumbung, Cilacap Selatan, ada berbagai kegiatan yang dilakukan. Mereka akan memasak bahan makanan yang sudah dibawanya untuk selamatan di malam harinya. Tapi sebelumnya mereka akan melakukan dzikir bersama.
Pagi harinya, para laki-laki akan bersih-bersih makam leluhur mereka di makam Daun Lumbung. Mulai dari menyapu, mengecat dan lain sebagainya. Sedangkan untuk para wanita mempersiapkan makanan untuk dimakan bersama.
Pawestri masuk ke makam leluhur mereka di Makam Daun Lumbung |
Doa bagi para leluhur baru akan dimulai setelah para wanita atau pawestri masuk ke dalam areal panembahn leluhur mereka 'Mbah Purba'. dengan mengenakan pakaian khas mereka, dan tanpa alas kaki pawestri ini masuk ke pemakaman dipandu oleh sesepuh. Di dalam areal pemakaman ini, mereka kemudian berdoa kepada leluhur mereka yang sudah mendahului. Usai pawestri melakukan doa dilanjutkan dengan para laki-laki yang berdoa.
Seorang pawestri berdoa di depan makam leluhurnya, di Daun Lumbung |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar