Jumat, 07 Agustus 2015

Guyub Rukun Mengenang Leluhur

Anak Cucu Kalikudi berjalan kaki dari kalikudi menuju ke makam leluhur mereka di Daun Lumbung

Berjalan kaki puluhan kilometer sudah pernah saya rasakan saat mengikuti Pendidikan Dasar (Diksar) saat masuk ke Unit Pandu Lingkungan Mahasiswa Pecinta Alam (UPL MPA) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) tahun 2003 silam.
Perjalanan sekitar 60 km lebih ini ditempuh selama hampir 14 hari. Tentu saja setiap hari tidak berjalan, sudah dijadwalkan ada kegiatan setiap harinya. Tapi kali ini bukan membahas tentang Diksar saya, melainkan para Anak Cucu Kalikudi, penganut kepercayaan dari Kecamatan Adipala.
Siang itu, sekitar panas terik di tanggal 10 Bulan Syawal, puluhan orang berjalan dengan mengangkut pikulan di bahunya. Dengan berpakaian sederhana dan tidak lupa dibalut dengan kain atau sarung, mereka berjaln beriringan.
Sedikitnya sepanjang 45 kilometer tidak menyurutkan langkah para anak-putu Kalikudi yang akan nyawal atau pudunan atau turunanke tempat leluhurnya di Cilacap. Mereka akan bersilaturahmi dan juga menilik leluhur mereka yang ada di makam Daunlumbung Kelurahan Tegalreja Cilacap.
Dengan niat ingin nguri-nguri budaya, mereka berangkat dari Desa Kalikudi Kecamatan Adipala sejak pukul 08.00 WIB. Bersama-sama membawa bahan yang belum dimasak, berupa beras bumbu masakan, ayam yang masih hidup tempe, minyak dan laiinya. Bahan makanan itu diletakkan dalam keranjang yang dipikul oleh para  lelaki, anak-putu keturunan Kalikudi


Mbah Wongsa Dikarya, sesepuh Anak Putu Kalikudi atau yang disebut Paguyuban Resik Kubur Jero Tengah (PRKJ) ini mengaku kedatangan kereka dari Adipala ke Cilacap ini untuk Nyadran. Sudah rutin dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Ini dilakukan untuk mengingatkan anak-cucu kepada leluhurnya, bahwa mereka ada didunia ini berkat adanya para leluhur.
“Kudu eling karo leluhur, karena kita hidup juga karena mereka. Ini juga sebagai tempat untuk silaturahmi,” kata keturunan Majapahit ini.
Jalan kaki dari desanya di Kalikudi sampai ke Cilacap, kata dia sudah diatur sejak dulu, dan tidak berubah sampai sekarang. Walaupun banyak perubahan jalan yang diaspal, namun tidak merubah rutenya.
“Sudah ada dari dulu, ya kaya gini. Kita hanya nuruti saja,” katanya.
Walaupun saat ini merupakan jaman modern, kata dia tidak ada anak-putu yang dipaksa untuk ikut melakukan tradisi ini. bahkan, dengan kesadaran diri, mereka mengikuti prosesi ini dengan baik. Pasalnya, sejak kecil mereka sudah ditanamkan untuk selalu senantiasa mengingat para leluhur mereka.
“Tidak ada paksa, bahkan mereka anak-anak muda ini sangat anusias, mereka yang membawa bekal makanan dan menggotongnya. Ini kaya jadi ngamalan, ngibadah mereka buat para leluhur,” kata.
Semua yang dilakukan dalam proses nyadran ini memiliki makna, seperti diantaranya memikul bahan makanan yang akan dimasak bersama-sama untuk selametan di jalur yang sudah ada sejak dahulu. Artinya, membawa barang harus hati-hati, dan sesuai dengan aturan, agar sampai ke tujuan dengan selamat.
Sementara jalan kaki, mengingatkan akan nenek moyangnya sejak dulu yang selalu berjalan kaki untuk bersilaturahmi ke tempat nenek moyang. Sehingga walaupun sudah ada mobil dan kendaraan, ini tidak digunakan. 
Selama menuju ke tempat para leluhurnya ini, mereka ada lima kali berhenti, biasanya istirahat dilakukan di Adipala, Karangkandri, Gumilir, dan Pasar Sangkalputung.
Para sesepuh beristirahat di Jl Suprapto atau sekitar Pasar Sangkalputung Cilacap
 
Tradisi ini, kata dia akan selalu dilaksanakan sampai anak cucu mereka kelak. Karena mereka akan selalu memberikan pesan kepada anak cucunya untuk mengingat kepada leluhurnya. 

Sesampainya di padepokan Daun Lumbung, Cilacap Selatan, ada berbagai kegiatan yang dilakukan. Mereka akan memasak bahan makanan yang sudah dibawanya untuk selamatan di malam harinya. Tapi sebelumnya mereka akan melakukan dzikir bersama. 

Pagi harinya, para laki-laki akan bersih-bersih makam leluhur mereka di makam Daun Lumbung. Mulai dari menyapu, mengecat dan lain sebagainya. Sedangkan untuk para wanita mempersiapkan makanan untuk dimakan bersama. 

Pawestri masuk ke makam leluhur mereka di Makam Daun Lumbung

Doa bagi para leluhur baru akan dimulai setelah para wanita atau pawestri masuk ke dalam areal panembahn leluhur mereka 'Mbah Purba'. dengan mengenakan pakaian khas mereka, dan tanpa alas kaki pawestri ini masuk ke pemakaman dipandu oleh sesepuh. Di dalam areal pemakaman ini, mereka kemudian berdoa kepada leluhur mereka yang sudah mendahului. Usai pawestri melakukan doa dilanjutkan dengan para laki-laki yang berdoa.


Seorang pawestri berdoa di depan makam leluhurnya, di Daun Lumbung


Tidak ada komentar:

Posting Komentar