Jumat, 27 Desember 2019

Hakuna Matata

Akhir sebuah cerita, tidak selamanya bahagia. Tidak seperti kisah-kisah di FTV atau sinetron-sinetron. Lakon selalu menang.

Sudah hampir 8 tahun saya setia bersama dengan mereka. Tetapi, karena persepsi yang salah, semua menjauh.

Tidak apa-apa. Itu tidak akan membuatku bunuh diri, mengasingkan diri atau menangis. Tidak apa-apa, saya dianggap bukan teman. Tidak apa-apa. Saya tidak masalah.

Meski aku bukan orang relijius, tetapi saya yakin. Kau akan mendapat balasannya. Mungkin dengan kau lebih bahagia, atau sebaliknya. Tapi ku doakan kau lebih bahagia.

Tidak apa-apa nomorku kau hapus, atau bahkan di block. Kau tidak lagi menghubungiku. Meski kau masih punya urusan terhadapku. Aku terima. Tapi aku tidak akan ikhlas.

Pertemanan ternyata hanya sebatas tetesan air di gurun pasir. Meski lama berkawan. Akhirnya tetap tidak berbekas. 

Rabu, 04 Desember 2019

Menulis Itu Butuh Keberanian, Bukan Kemampuan



"Jika Kalian Ingin Menjadi Pemimpin Besar, Menulislah Seperti Wartawan, dan Bicaralah seperti Orator" Hos Tjokroaminoto, Pahlawan Nasional

Menulis itu sangat mudah, apalagi menulis komentar nyinyir di medsos orang...yeee..kaaan

Menurut saya, menulis itu butuh keberanian, bukan butuh kemampuan. Karena kalau hanya punya kemampuan tapi ngga berani menulis, ya sama saja. Tidak ada produk yang dihasilkan. Hanya membaca, melihat dan mengagumi tulisan orang lain. Sah-sah saja sih.

Kalau berani menulis, meski awalnya tidak mampu. Maka lama kelamaan setelah terbiasa, kemampuan menulis akan terasah lebih baik lagi.



Setiap hari saya menulis, karena tuntutan pekerjaan. ya karena saya menjadi wartawan di surat kabar lokal terintegeasi.

Beberapa saat lalu, saya meliput Komunitas Guru Menulis K'Gum Cilacap. Mereka adalah kumpulan guru-guru yang ingin menyampaikan ide dan kreativitasnya melalui buku.





Baru satu tahun, sudah ada 208 anggota. 78 guru diantaranya sudah menghasilkan karya, sebanyak 102 buah buku. Emezing kan...

Karena apa? Karena mereka berani menuangkan idenya melalui tulisan, dan dijadikan sebuah buku.


So, bagi kamu yang memang minat menulis, belajarlah terus. Membacalah terus. Sampai kau menemukan, menulis itu menjadi candu, membaca itu sudah menjadi narkoba dalam kehidupan. 





Bianglala Kehidupan



Bianglala Kehidupan

Saya takut akan ketinggian. Meski suka naik gunung.

Beda saja rasanya. Pada saat di puncak atau melipir punggungan, dimana dibawahnya merupakan jurang, rasanyabtidak semengerikan pada saat, berada di sebuah gedung tinggi dan langsung melihat ke lantai bawah.

Seperti tidak ada celah menyelamatkan diri. Di gunung, karena saya suka.

Sama halnya ketika berada di dalam bianglala. Rasanya ngeri-ngeri merinding di kaki. Saya juga suka, naik bianglala.

Bianglala, menurut saya seperti sebuah kehidupan. Sama halnya orang lain yang bilang kehisupan seperti roda berputar. Ya, sama.

Selalu berputar, kadang di atas kadang di bawah. Diawali dari kehidupan di bawah, lalu merangkak naik ke atas, sampai puncak. Bahkan juga harus turun ke bawah.

Ada perjuangan menuju ke puncak. Perjuangan perpindahan rasa, daei biasa, menjadi luar biasa.

Lama kelamaan pun akan bosan jika selalu mengarungi kehidupan yang itu-itu saja. Stagnan berputar.

Tapi dalam bianglala itu, selalu ada pintu sebagai jalan keluar yang bisa kita buka setiap saat.





Apa kita akan buka pintu bianglala ini pada saat berada di puncak? Tapi kita juga harus menimbang risiko yang bakal kita alami. Langsung terjun dari ketinggian kebawah. Bisa luka, bahkan mati. Jika beruntung, hidup dan melanjutkan perjuangan.

Atau kita buka pada saat dibawah? Saat tidak ada lagi benang kusut yang bisa diulur. Saat permasalahan terlalu pelik. Maka percaya pada diro sendiri, buka dan cari jalan keluar. Hirup udara bebas, tanpa menengok ke belakang, meski masih perlu dikenang.


Mungkin jalan kedua ini yang harus saya tempuh. Meski berat hati. Selama hampir 8 tahun, tanpa rasa