Rabu, 04 Desember 2019

Bianglala Kehidupan



Bianglala Kehidupan

Saya takut akan ketinggian. Meski suka naik gunung.

Beda saja rasanya. Pada saat di puncak atau melipir punggungan, dimana dibawahnya merupakan jurang, rasanyabtidak semengerikan pada saat, berada di sebuah gedung tinggi dan langsung melihat ke lantai bawah.

Seperti tidak ada celah menyelamatkan diri. Di gunung, karena saya suka.

Sama halnya ketika berada di dalam bianglala. Rasanya ngeri-ngeri merinding di kaki. Saya juga suka, naik bianglala.

Bianglala, menurut saya seperti sebuah kehidupan. Sama halnya orang lain yang bilang kehisupan seperti roda berputar. Ya, sama.

Selalu berputar, kadang di atas kadang di bawah. Diawali dari kehidupan di bawah, lalu merangkak naik ke atas, sampai puncak. Bahkan juga harus turun ke bawah.

Ada perjuangan menuju ke puncak. Perjuangan perpindahan rasa, daei biasa, menjadi luar biasa.

Lama kelamaan pun akan bosan jika selalu mengarungi kehidupan yang itu-itu saja. Stagnan berputar.

Tapi dalam bianglala itu, selalu ada pintu sebagai jalan keluar yang bisa kita buka setiap saat.





Apa kita akan buka pintu bianglala ini pada saat berada di puncak? Tapi kita juga harus menimbang risiko yang bakal kita alami. Langsung terjun dari ketinggian kebawah. Bisa luka, bahkan mati. Jika beruntung, hidup dan melanjutkan perjuangan.

Atau kita buka pada saat dibawah? Saat tidak ada lagi benang kusut yang bisa diulur. Saat permasalahan terlalu pelik. Maka percaya pada diro sendiri, buka dan cari jalan keluar. Hirup udara bebas, tanpa menengok ke belakang, meski masih perlu dikenang.


Mungkin jalan kedua ini yang harus saya tempuh. Meski berat hati. Selama hampir 8 tahun, tanpa rasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar