Kamis, 27 Agustus 2015

Gili Labak, Baru Tahu?? Sama...


PPG eksis sampai Gili Labak
Gili Labak, baru aku dengar  namanya di akhir Bulan Juni kemarin. hee...bukannya ngga pernah mendapat pelajaran Geografi, tapi inget di Indonesia ada sekitar 17.500 pulau, mana bisa hapal semuanya. Paling yang ukurannya jumbo-jumbo saja.

Lagian Gili Labak yang berada di Madura, Kabupaten Sumenep ini belum begitu terkenal (terkenal beberapa tahun ini) seperti Gili-gili lainnya yang ada di Lombok yang sudah mendunia. Karena ternyata ada pulau kecil yang hanya sekitar 5 hektar yang jauhnya harus ditempuh dua jam perjalanan dari ujung Sumenep.

Gili Labak, atau ada warga yang menyebut Gili Lawak ini masuk ke Dusun Lembana  Desa Kombang, RT 5 RW 3 KEcamatan Talango, Kabupaten Sumenep, Madura. Ada sebanyak 33 kepala keluarga yang berada di pulau kecil ini.



Saya bersama dengan teman-teman saya kemarin sebanyak 14 orang bertemu di lapangan parkir Graha Pena Surabaya. Dari sana menggunakan bus ELF menuju ke Pelabuhan Kalianget Kabupaten Sumenep, dengan ditempuh selama 4 jam perjalanan.
Gambar ini ngambil dari blog punya isyadhebat.blogspot.com

Setelah itu, mobil membawa kita menyebrang dari Kali Anget ke dermaga Pulau Talango, yang hanya sekitar 3 menit saja. Sebenarnya dari Kali Anget langsung ke Gili Labak bisa langsung menyebrang menggunakan perahu. tapi perjalanan hrus ditempuh dengan waktu selama dua jam (kalau yang punya mabok laut, mending jangan deh).
Kendaraan yang ikut menyebrang

Ini suasana pasar di dermaga Talango

Setelah mendarat di pelabuhan Talango, rombongan melanjutkan perjalanan ke Desa Kombang. Disana (saya dan rombongan yang menggunakan travel agen) di rumah warga yang dijadikan basecamp,semuanya makan pagi dengan menu seadanya. Sayur buncis, sepotong telur dadar yang asin, dan saru potong ikan tongkol kecil. nasinya pun sedikit. wkwkwk...

Masih ceria nih sebelum perjalanan ke Gili Labak
Usai makan, sekitar pukul 08.30 WIB, kita diminta untuk bersiap untuk menyebrang. Sampai di dermaga di desa tersebut, kita agak terkejut, karena kapal yang akan membawa kita tidak berada di dermaga, karena kandas. Jadi kita harus jalan kaki melewati pantai dan baru naik di perahu.


Harus basah-basahan dulu sebelum naik perahu nih


Saling bantu transfer tas, dan saling pegangan melewati bibir pantai yang dibawahnya karang licin
Tidak ada peringatan dari agen yang membawa kita kalau angin besar dan gelombang besar. Informasi ini didapat dari warga dan tukang perahu yang akan membawa kita. hm...bismillah aja saat menyebrang nanti. Benar saja, gelombang dengan ketinggian sekitar 2-3 meter lebih ini menerjang kapal yang ditumpangi rombongan. Tidak seperti rombongan kapal lainnya, di kapal kita tidak ada satupun yang mendapatkan pelampung atau lifefest. haaa.....tambah paniklah kita.  "Berdoa saja," kata teman mengingatkan.

Wajah ceria lagi setelah perjalanan yang menajubkan
Perjalanan yang seharusnya satu jam ini, ditempuh 1 jam15 menit. Karena mungkin tukang perahunya berjalan dengan hati-hati agar tidak terjadi apa-apa.
  
Terlihat sebagian Gili Labak


Sampai di Gili Labak, hati rasanya tidak sabar langsung ingin merenang dan menikmati indahnya bawah laut pulau ini. Namun, sayang, dengan tidak jelasnya jadwal dari travelagen kita, selama hampir 7 jam lebih kita 'dianggurin'.

Foto di bawah papan Gili Labak



Untungnya kita punya inisiatif untuk berenang-berenang dan berkeliling ke seluruh pulau. Foto-foto berbagai pose...keliling pantaii...







Menikmati Gili Labak (Pas topi masih bagus)



 .....Pose menikmati pantai....dan bahkan sampai sempat tidur siang, karena ada rumah-rumah panggung yang dibuat di depan rumah warga.









Kita yang ngga mau dianggurin ini minta ada kejelasan aktifitas, akhirnya pada pukul 16.00 WIB, kita diperbolehkan untuk snorkling di sekitar pantai. Sayangnya, saat itu sedang surut, ketinggian air lautpun menyurut, membuat kita yang berenang sangat dekat dengan terumbu karang. Tidak sedikit yang belum terbiasa snorkling harus menginjak-injak terumbu karang yang ada dibawah.


Mulai snorkling niiih


Airnya keruh, karena terlalu rendah membuat pasir naik ke atas


sampah platik bakal lama ngga bakal bisa terurai

ambil dan buang ke tempat sampah

Blossom pun ikut menyelam


Terlihat juga banyak terumbu karang yang sudah rusak akibat injakan-injakan kaki (mungkin loh) yang berusaha ingin berdiri. Sampah plastik juga terlihat di beberapa bagian, dan airnya pun tidak jernih.
Tapi sore itu, semua terasa terobati dengan melihat sunset yang indah di Gili Labak.

Usai snorkling menikmati sunset (sengaja di blur)

Tapi ternyata setelah dihitung-hitung ngga semuanga ikut snorkling. Ada teman lainnya yang mabok laut dan masih merasa mual. Jadi dia harus istirahat di penginapan deh.

Bukan All Team

Harusnya hari berikutnya masih menikmati snorkling sekali lagi. Awalnya sih antusias banget mau ngulangi, siapa tahu terumbu karangnya lagi bagus, dan sedang pasang, jadi tidak bakal sependek hari sebelumnya. Tetapi mengingat, gelombang tinggi yang masih bakal terjadi, jadi sesuai kesepakatan rombongan kita ingin pulang lebih awal. Harusnya dijadwalkan pukul 13.00 WIB baru mulai merapat. tetapi kita minta lebih cepat, pukul 08.30 WIB.

Kita nikmatin sunrise dulu nih paginya
 Pagi harinya tentu saja kita memburu sunset yang juga menjadi daya tarik Pulau ini. Karena di pulau kecil ini bisa menikmati keduanya. Uwow!!!

Ngeksis dikit dah
Sempetin juga keliling ke seluruh pulau. Ternyata banyak juga wisatawan terutama dari Indonesia saja yang datang ke pulau ini. Bahkan, mereka ada yang camping loh (kapan-kapan bisa dateng lagi sambil camping ahh..)

Gimana rasanya camping di pulau terpencil??Tanya mas ini


 Dan sebelum pulang, dua rombongan, satu dari rombongan saya dan satu lainnya dari Surabaya juga berfoto ria dengan mengkampanyekan "Save Our Littoral Life".


Ada baiknya memang menggunakan travel agen, tapi harus benar-benar nyari yang OK dan pelayanannya memuaskan. Ngga kaya yang kemarin ini, lelet, dianggurin, dicuekin, ngga jelas jadwalnya, dan lagi ngga ada penjelasan yang sejelas-jelasnya jika terlambat dan lain sebagainya.Saya ngga mau sebut namanya apa, pokoknya ngga recomended deh.

Pingin balik lagi, dan berwisata dengan santai..camping, dan carilah cuaca-cuaca yang sedang bersahabat. Hmm..mau tau kapan? tanya BLKG aja. heeee....Salam Bermain

Cobalah Tanpa Gadget di Gili Labak

Kapal warga disandarkan di pinggir pantai Gili Labak
Berwisata ke pulau, bukan kali ini saya lakukan. Sudah pernah sebelumnya ke Kepulauan Seribu. Perbedaannya, Pulau seribu sudah terkenal dengan keindahannya, dan juga rumah-rumah penduduk sudah banyak yang disulap sebagai penginapan atau home stay selama di pulau. Tapi pernah juga sih saya camping di Pulau Semak Daun.

Sudah meleknya wisata di Pulau Seribu ini, membuat kita disana dimanjakan dengan adanya aliran listrik yang selalu sedia setiap saat. Berbeda saat ke Gili Labak, Kecamatan Talango, Kabupaten Sumenep Madura. Saya kira, suasana di sana pun sama dengan yang berada di Kepulauan Seribu. Ternyata berbeda.

Listrik disana hanya bisa dinikmati pada malam hari, itu juga hanya sampai pukul 00.00 WIB. Masyarakat memanfaatkan panel surya untuk menampung energi panas matahari di siang hari. dan disalurkan menjadi aliran listrik di malam hari. "Wah saya tidak bisa ngecas nih kalau begitu," kata seorang teman.

Tapi setelah banyaknya wisatawan yang datang ke situ, operator wisata disana, menyediakan genset untuk cas hape (karena kebanyakan bawa hape semua). Tapi, karena banyaknya yang ngecas, dan sedikitnya colokan, serta terbatasnya volt dalam genset tersebut, sebentar-sebentar mati, dan sebentar-sebentar hidup.

"Hey...ayolah...kita katanya di pulau terpencil tapi kenapa masih pake gadget," kata ku.
"Buat foto-foto lah, biar langsung update status," kata temenku.
Okelah..

Walau teman-temanku semua pada ngecas (ada juga yang membawa power bank) tapi kucoba sendiri tidak menggunakan gadget selama dua hari (karena biasa juga pas digunung tanpa signal). Karena sudah biasa, makanya tidak terlalu merisaukan untuk update status di semua sosmed, baik di bbm, instagram, facebook, path, tweeter, dan lain-lainnya heee.

Tapi ternyata mengasyikan, ngga usah jadi autis, dan bisa menikmati sepenuhnya keindahan Gili Labak ini. Bisasnorkling dengan santai, keliling pulau, bermain air, bermain pasir, atau hanya duduk-duduk di pinggir pantai sambil melihat bintang di malam hari.


Letakkan gadget dan kita berbicara dari hati ke hati

Karena kita tidak usah meladeni chat balesan dari teman. Tidak usah panik karena tiba-tiba ada tugas pekerjaan yang mendadak, tidak usah sedih karena harus melihat pacar atau mantan sedang bersenang-senang di tempat lain. Tidak usah galau pas melihat teman lainnya postinganya lebih keren dari pose kita...haaa..semua santaai..(tapi memang yang dikhawatirkan ada kabar duka dari keluarga yang harus kita ketahui cepat jadi tidak bisa langsung mendengar, semoga sih tidak ya)

Itu tuh miss selfie haaa


Coba saja deh...pas kita liburan, apalagi saat camping atau di pantai tidak mengaktifkan gadget.

"Aku kan ngga punya kamera, jadi ini fungsinya jadi kamera juga. kamu kan udah punya kamera," kata teman lainnya.
"Okelah kalau begitu,saya juga ikutan foto selfie bareng ya..." kataku sambil ikutan selfie-selfie...heee...ternyata sekarang hidup kita tidak bisa lepas dari gadget ya.

Saya Bisa Bayangkan Bagaimana Pi saat dilaut Lepas

Harus berbasah-basah dulu sebelum naik ke kapal
Teringat akan film "Life of Pi" saat perjalanan menuju ke Gili Labak, dari Pulau Talango, Minggu (16/8) lalu.Bagaimana tidak, saat menyebrangi lautan selama satu jam lebih ini, kapal yang membawa rombongan kami selalu dihempas oleh gelombang tinggi.

Memang pada saat itu, gelombang sedang tinggi, karena angin timur. Satu jam perjalanan serasa seperti satu tahun.

Bagaimana Pi saat diterjang ombak besar, tapi kali ini tidak bersama harimau benggala dan juga hewan lainnya. Tetapi bersama dengan rombongan teman yang berjumlah 13 orang ditambah satu guide, eh bukan ding..cuman pendamping dan dua ABK.

Bedanya, perahu yang digunakan bukan scoci seperti yang digunakan oleh Pi, tetapi perahu berbentuk seperti kapal Pinisi, khas perahu Madura. Berbentuk lancip di setiap ujung dan agak melengkung.

“Saat itu, pasti Pi sangat ketakutan ya,” kataku dalam hati.

Perbedaannya lagi, Pi pintar berenang, jadi masih bisa menyelamatkan diri ketika harimau harimau sedang menganggunya disaat gelombang sedang tinggi.Tapi, diperahu ini, tidak semuanya bisa berenang. Bahkan yang bisa berenangpun pasti tidak pernah berenang di lautan lepas dengan gelombang tinggi.

Masih terlihat gembira sebelum naik Kapal


Awalnya memang mengasyikan karena seperti menaiki kora-kora di pasar malam. Tapi lama-lama membuat mual. Tidak sedikit teman yang harus memuntahkan makanan terakhirnya ke laut.tidak tahan dengan guncangan gelombang yang menghempas.

Rasa suka cita terpancar disemua raut muka para rombongan. bagaimana tidak kapal kita yang ternyata berjalan sangat lamban ini akhirnya akan merapat ke pulau yang dituju. Pulau kecil bernama Gili Labak, atau orang sekitar menakannya Gili Lawak.

Muka-muka saat sudah melihat Gili Labak
Turun di Gili Labak ini memang sangat mengasyikan. Bagaimana tidak,pasir putih yang lebut sudah menghadang. Membuat kita tak betah menggunakan alas kaki, mending nyeker saja, lebih asik. tapi tetap hati-hati, beberapa tempat ada yang masih banyak karang-karang pecah.

Pulau yang bisa kita kelilingi dalam waktu kurang dari satu jam (kalau ditambah foto-foto, kalau lari paling 10 menit) ini memang sangat mengasyikan. Bagaimana tidak, walau ramai orang, tetapi melihat perjuangan perjalanan ke pulau ini sebanding.

Tapi harus diingat, kalau ke sini persiapan packing harus yang bener. Biar ngga ada baju yang basak karena harus kena air laut yang masuk saat di perahu. Untungnya, saya sudah terbiasa dengan menggunakan plastik untuk memacking pakaian di dalam tas. Jadi aman. Semua peralatan kamerajuga sudah aman. tinggal jemur bagian luarnya aja biar ngga bauu....



Jumat, 07 Agustus 2015

Guyub Rukun Mengenang Leluhur

Anak Cucu Kalikudi berjalan kaki dari kalikudi menuju ke makam leluhur mereka di Daun Lumbung

Berjalan kaki puluhan kilometer sudah pernah saya rasakan saat mengikuti Pendidikan Dasar (Diksar) saat masuk ke Unit Pandu Lingkungan Mahasiswa Pecinta Alam (UPL MPA) Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) tahun 2003 silam.
Perjalanan sekitar 60 km lebih ini ditempuh selama hampir 14 hari. Tentu saja setiap hari tidak berjalan, sudah dijadwalkan ada kegiatan setiap harinya. Tapi kali ini bukan membahas tentang Diksar saya, melainkan para Anak Cucu Kalikudi, penganut kepercayaan dari Kecamatan Adipala.
Siang itu, sekitar panas terik di tanggal 10 Bulan Syawal, puluhan orang berjalan dengan mengangkut pikulan di bahunya. Dengan berpakaian sederhana dan tidak lupa dibalut dengan kain atau sarung, mereka berjaln beriringan.
Sedikitnya sepanjang 45 kilometer tidak menyurutkan langkah para anak-putu Kalikudi yang akan nyawal atau pudunan atau turunanke tempat leluhurnya di Cilacap. Mereka akan bersilaturahmi dan juga menilik leluhur mereka yang ada di makam Daunlumbung Kelurahan Tegalreja Cilacap.
Dengan niat ingin nguri-nguri budaya, mereka berangkat dari Desa Kalikudi Kecamatan Adipala sejak pukul 08.00 WIB. Bersama-sama membawa bahan yang belum dimasak, berupa beras bumbu masakan, ayam yang masih hidup tempe, minyak dan laiinya. Bahan makanan itu diletakkan dalam keranjang yang dipikul oleh para  lelaki, anak-putu keturunan Kalikudi


Mbah Wongsa Dikarya, sesepuh Anak Putu Kalikudi atau yang disebut Paguyuban Resik Kubur Jero Tengah (PRKJ) ini mengaku kedatangan kereka dari Adipala ke Cilacap ini untuk Nyadran. Sudah rutin dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Ini dilakukan untuk mengingatkan anak-cucu kepada leluhurnya, bahwa mereka ada didunia ini berkat adanya para leluhur.
“Kudu eling karo leluhur, karena kita hidup juga karena mereka. Ini juga sebagai tempat untuk silaturahmi,” kata keturunan Majapahit ini.
Jalan kaki dari desanya di Kalikudi sampai ke Cilacap, kata dia sudah diatur sejak dulu, dan tidak berubah sampai sekarang. Walaupun banyak perubahan jalan yang diaspal, namun tidak merubah rutenya.
“Sudah ada dari dulu, ya kaya gini. Kita hanya nuruti saja,” katanya.
Walaupun saat ini merupakan jaman modern, kata dia tidak ada anak-putu yang dipaksa untuk ikut melakukan tradisi ini. bahkan, dengan kesadaran diri, mereka mengikuti prosesi ini dengan baik. Pasalnya, sejak kecil mereka sudah ditanamkan untuk selalu senantiasa mengingat para leluhur mereka.
“Tidak ada paksa, bahkan mereka anak-anak muda ini sangat anusias, mereka yang membawa bekal makanan dan menggotongnya. Ini kaya jadi ngamalan, ngibadah mereka buat para leluhur,” kata.
Semua yang dilakukan dalam proses nyadran ini memiliki makna, seperti diantaranya memikul bahan makanan yang akan dimasak bersama-sama untuk selametan di jalur yang sudah ada sejak dahulu. Artinya, membawa barang harus hati-hati, dan sesuai dengan aturan, agar sampai ke tujuan dengan selamat.
Sementara jalan kaki, mengingatkan akan nenek moyangnya sejak dulu yang selalu berjalan kaki untuk bersilaturahmi ke tempat nenek moyang. Sehingga walaupun sudah ada mobil dan kendaraan, ini tidak digunakan. 
Selama menuju ke tempat para leluhurnya ini, mereka ada lima kali berhenti, biasanya istirahat dilakukan di Adipala, Karangkandri, Gumilir, dan Pasar Sangkalputung.
Para sesepuh beristirahat di Jl Suprapto atau sekitar Pasar Sangkalputung Cilacap
 
Tradisi ini, kata dia akan selalu dilaksanakan sampai anak cucu mereka kelak. Karena mereka akan selalu memberikan pesan kepada anak cucunya untuk mengingat kepada leluhurnya. 

Sesampainya di padepokan Daun Lumbung, Cilacap Selatan, ada berbagai kegiatan yang dilakukan. Mereka akan memasak bahan makanan yang sudah dibawanya untuk selamatan di malam harinya. Tapi sebelumnya mereka akan melakukan dzikir bersama. 

Pagi harinya, para laki-laki akan bersih-bersih makam leluhur mereka di makam Daun Lumbung. Mulai dari menyapu, mengecat dan lain sebagainya. Sedangkan untuk para wanita mempersiapkan makanan untuk dimakan bersama. 

Pawestri masuk ke makam leluhur mereka di Makam Daun Lumbung

Doa bagi para leluhur baru akan dimulai setelah para wanita atau pawestri masuk ke dalam areal panembahn leluhur mereka 'Mbah Purba'. dengan mengenakan pakaian khas mereka, dan tanpa alas kaki pawestri ini masuk ke pemakaman dipandu oleh sesepuh. Di dalam areal pemakaman ini, mereka kemudian berdoa kepada leluhur mereka yang sudah mendahului. Usai pawestri melakukan doa dilanjutkan dengan para laki-laki yang berdoa.


Seorang pawestri berdoa di depan makam leluhurnya, di Daun Lumbung


Kamis, 06 Agustus 2015

Setetes Air Hujan itu, Sangat Kami Harapkan

Seorang kakek berdoa dengan khusyuk usai Salat istisqo atau Salat minta hujan

Sudah lebih dari lima bulan hujan tidak turun di daerah Desa Kubangkangkung, Kecamatan Kawunganten. Ratusan hektar sawah dengan tanaman padi yang baru berusia satu bulan, tanahnya mengering dan retak-retak akibat tidak ada pasokan air yang mengalir. Kebun-kebun palawija kering tanahnya. Bahkan air bersih untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sangat sulit bisa ditemui.

Jikapun ada, warga mau tidak mau harus mencari ke sumber-sumber air yang jauhnya sekitar 3 km lebih, atau berada di sekitar waduk hutan Kubangkangkung. Air bersih itu hanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, masak, minum dan mandi.

"Mandipun sehari sekali, karena ngirit air," kara Rina (25) warga RT 3 RW 4 Dusun Sidasari Wetan, Desa Kubangkangkung.

Hujan yang tidak kunjung datang ini, membuat masyarakat sudah sangat berharap dengan turunnya hujan. Mungkin satu-saunya cara yang bisa dilakukan dengan menggelar Salat Istisqo atau salat minta hujan. Setelah cara lainny dengn mengandalkan air waduk pun tidak mencukupi.

Diatas tanah kering dan retak, warga Salat Istisqo

Ratusan warga desa pun akhirnya berembug dan segera melaksanakan Salat Istisqo. Laki-laki dan perempuan menggelar Salat Istisqo di sawah yang sudah mengering dan retak-retak milik warga. Uniknya, warga laki-laki mengenakan sarung atau selendang yang diikatkan di pundak sebelah kanan menyelempang ke badan. Artinya, agar tanah yang sebelumnya kering akan dibasahi oleh hujan. entah benar atau tidak, itu menurut warga.

Dengan beralaskan terpal dan juga tikar, Salat Istisqo yang dipimpin oleh imam KH Amin khusein ini dilaksanakan. Salat dua rokaat ini diikuti warga dengan khusuyuk walaupun saat itu sedang panas terik, walau waktu baru menunjukkan pukul 10.30 WIB.

Kyai Abu Dardo yang memberikan khutbah ini mengatakan selama beberapa bulan ini membuat sawah, palawija, dan sumur warga mengalami kekeringan. Usai memberikan khutbah, dengan membelakangi para jamaah, Abu memimpin do'a bersama agar permohonan warga dikabulkan.

Warga berdoa memohon hujan turun

"Kami memohon ampun kepada Allah, dan berdoa disini, meminta agar Allah memberikan hujan kepada kami agar tanaman bisa tumbuh dan berbuah kembali," kata Khatib yang menggunakan sorban putih ini.


Kyai Abu Dardo memberikan khutbahnya

Dengan menggunakan bahasa Jawa kromo inggil, sang Khotib meminta ampunan kepada Tuhan yang maha Esa. Mengjak warga untuk memohon untuk diberikan keberkahan, melalui tetesan hujan yang turun didaerahnya. Hujan yang tidak berlebih. Agar kehidupan tanaman, ternak dan juga warga akan semakin baik. Krena tanaman akn berbuah, sehingga warga bisa menikmatinya untuk kehidupan.

Warga berdoa dengan khusyuk memohon hujan turun

Kyai abu Dardo pun kemudian membalikkan badannya memunggungi jamaah untuk memimpin doa bersama. Dengan sungguh-sungguh, warga terlihat sangat berharap agar permintan merek segera ikabulkan. Hujan turun membasahi tanh persawahan mereka. Karena setetes air hujan ini sangat dibutuhkan oleh warga.

Panas terik tidak menyurutkan semangat ereka memohon diturunkannya Hujan di desa mereka, Kubangkangkung