Jumat, 27 Desember 2019

Hakuna Matata

Akhir sebuah cerita, tidak selamanya bahagia. Tidak seperti kisah-kisah di FTV atau sinetron-sinetron. Lakon selalu menang.

Sudah hampir 8 tahun saya setia bersama dengan mereka. Tetapi, karena persepsi yang salah, semua menjauh.

Tidak apa-apa. Itu tidak akan membuatku bunuh diri, mengasingkan diri atau menangis. Tidak apa-apa, saya dianggap bukan teman. Tidak apa-apa. Saya tidak masalah.

Meski aku bukan orang relijius, tetapi saya yakin. Kau akan mendapat balasannya. Mungkin dengan kau lebih bahagia, atau sebaliknya. Tapi ku doakan kau lebih bahagia.

Tidak apa-apa nomorku kau hapus, atau bahkan di block. Kau tidak lagi menghubungiku. Meski kau masih punya urusan terhadapku. Aku terima. Tapi aku tidak akan ikhlas.

Pertemanan ternyata hanya sebatas tetesan air di gurun pasir. Meski lama berkawan. Akhirnya tetap tidak berbekas. 

Rabu, 04 Desember 2019

Menulis Itu Butuh Keberanian, Bukan Kemampuan



"Jika Kalian Ingin Menjadi Pemimpin Besar, Menulislah Seperti Wartawan, dan Bicaralah seperti Orator" Hos Tjokroaminoto, Pahlawan Nasional

Menulis itu sangat mudah, apalagi menulis komentar nyinyir di medsos orang...yeee..kaaan

Menurut saya, menulis itu butuh keberanian, bukan butuh kemampuan. Karena kalau hanya punya kemampuan tapi ngga berani menulis, ya sama saja. Tidak ada produk yang dihasilkan. Hanya membaca, melihat dan mengagumi tulisan orang lain. Sah-sah saja sih.

Kalau berani menulis, meski awalnya tidak mampu. Maka lama kelamaan setelah terbiasa, kemampuan menulis akan terasah lebih baik lagi.



Setiap hari saya menulis, karena tuntutan pekerjaan. ya karena saya menjadi wartawan di surat kabar lokal terintegeasi.

Beberapa saat lalu, saya meliput Komunitas Guru Menulis K'Gum Cilacap. Mereka adalah kumpulan guru-guru yang ingin menyampaikan ide dan kreativitasnya melalui buku.





Baru satu tahun, sudah ada 208 anggota. 78 guru diantaranya sudah menghasilkan karya, sebanyak 102 buah buku. Emezing kan...

Karena apa? Karena mereka berani menuangkan idenya melalui tulisan, dan dijadikan sebuah buku.


So, bagi kamu yang memang minat menulis, belajarlah terus. Membacalah terus. Sampai kau menemukan, menulis itu menjadi candu, membaca itu sudah menjadi narkoba dalam kehidupan. 





Bianglala Kehidupan



Bianglala Kehidupan

Saya takut akan ketinggian. Meski suka naik gunung.

Beda saja rasanya. Pada saat di puncak atau melipir punggungan, dimana dibawahnya merupakan jurang, rasanyabtidak semengerikan pada saat, berada di sebuah gedung tinggi dan langsung melihat ke lantai bawah.

Seperti tidak ada celah menyelamatkan diri. Di gunung, karena saya suka.

Sama halnya ketika berada di dalam bianglala. Rasanya ngeri-ngeri merinding di kaki. Saya juga suka, naik bianglala.

Bianglala, menurut saya seperti sebuah kehidupan. Sama halnya orang lain yang bilang kehisupan seperti roda berputar. Ya, sama.

Selalu berputar, kadang di atas kadang di bawah. Diawali dari kehidupan di bawah, lalu merangkak naik ke atas, sampai puncak. Bahkan juga harus turun ke bawah.

Ada perjuangan menuju ke puncak. Perjuangan perpindahan rasa, daei biasa, menjadi luar biasa.

Lama kelamaan pun akan bosan jika selalu mengarungi kehidupan yang itu-itu saja. Stagnan berputar.

Tapi dalam bianglala itu, selalu ada pintu sebagai jalan keluar yang bisa kita buka setiap saat.





Apa kita akan buka pintu bianglala ini pada saat berada di puncak? Tapi kita juga harus menimbang risiko yang bakal kita alami. Langsung terjun dari ketinggian kebawah. Bisa luka, bahkan mati. Jika beruntung, hidup dan melanjutkan perjuangan.

Atau kita buka pada saat dibawah? Saat tidak ada lagi benang kusut yang bisa diulur. Saat permasalahan terlalu pelik. Maka percaya pada diro sendiri, buka dan cari jalan keluar. Hirup udara bebas, tanpa menengok ke belakang, meski masih perlu dikenang.


Mungkin jalan kedua ini yang harus saya tempuh. Meski berat hati. Selama hampir 8 tahun, tanpa rasa

Senin, 14 Oktober 2019

Sapa Wani #17 Dari Klothekan Lesung sampai Penampilan Pelukis Suhadi Gembot




Suara kothekan lesung menyambut saya, saat mampir di gelaran Sapa Wani ke-17 di Lengkong Kelurahan Mertasinga Kecamatan Cilacap Utara Sabtu malam (12/10) lalu.. Alunan lesung dimainkan oleh grup Arum Sari ini menjadi daya pikat para fotografer dan videografer untuk mengabadikan, termasuk saya.



Saya datang di malam terakhir, gelaran budaya yang digagas para seniman Cilacap, yang mulai dibuka sejak Kamis (10/10). Ternyata tidak hanya klotekan lesung, ada tari-tarian tradisional yang ditampilkan, seperti tarian Bambangan Cakil, tari Gambyong, tari Manipur, Lenggeran, tarian jamu gendong hingga tari Srikandi Mustoko Weni.

Suasana tampak lebih menyatu, karena lokasinya berada di tengah areal persawahan kering. Memedi sawah dari jerami tidak ketinggalan dipamerkan.

Lukisan-lukisan dari para pelukis kenamaan pun dipamerkan, bahkan tidak ketinggalan foto-foto hasil karya fotografer Cilacap juga dipajang. Menariknya lagi, juga menampilkan pelukis Bejo Supit, dan juga Budi Wibowo.



Sebagai puncak rangkaian acara pada Sabtu malam kemarin, digelar pertunjukan melukis yang langsung dilakukan oleh pelukis Purbalingga, Suhadi Gembot. Uniknya, dalam pertunjukan melukisnya kali ini, dia berkolaborasi pertunjukan ebeg dan laesan.

Dalam rangkaian acara puncak inj, juga digelar beberapa kesenian, berupa Jambelan atau doa rasa syukur petani atas panen yang melimpah, tari massal petani, tari Srikandi Mustoko Weni, dan juga guyon maton campur sari.

Bambang Jos, seniman asal Cilacap yang menjadi penyelenggara ini mengatakan, Sapa Wani ini merupakan kegiatan yang rutin digelar oleh para seniman Cilacap. Dalam penyelenggarannya, lokasi selalu berpindah-pindah. Kali ini digelar di areal persawahan.



Meskipun berada di tengah areal persawahan kering, mampu menarik ratusan warga sekitar dan Cilacap untuk menyaksikan pentas seni yang menyuguhkan budaya Indonesia ini. Tua muda berbaur menjadi satu di bawah cahaya bulan purnama.

Gelaran Sapa Wani, menampilkan berbagai kesenian budaya Jawa, ini kata dia sebagai upaya untuk memperkenalkan sekaligus mempertegas bahwa budaya Jawa perlu untuk dilestarikan.

“Melalui kegiatan ini, kami para seniman ingin kembali mengingatkan anak muda mengenai budaya kita, generasi muda juga dipacu agar semangat berkreasi, berkreativitas dan punya keberanian jangka panjang,” katanya.

Dengan sukarela, tanpa pamrih, dan niat ingin melstarikan budaya, puluhan seniman dari berbagai daerah seperti Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Solo dan lainnya ini pun turut andil dalam mbaranggawenya seniman Cilacap ini.

“Semua yang datang ini yang peduli akan seni, tanpa ada yang memerintah, membayar, semua pengisi datang sendiri, makanya namanya Sapa Wani atau dalam bahasa Indonesia ‘Siapa Berani’ ayo tampil, panitia hanya memfasilitasi panggung,” ujarnya.



Gelaran malam terakhir Sapa Wani #17 ini mampu menyedot ratusan masyarakat. Mereka antusias karena penampilan pelukis Suhadi, bersama dengan ebeg. Atraksi Bambu Gila menjadi penutup acara kegiatan yang digelar setiap bulan sekali. (ale)

Ketemu Mantili, dan Si Buta dari Goa Hantu di Kampoeng Pendekar




Beberapa tahun lalu, ketika masih usia Sekolah Dasar, da banyak sinetron-sinetron bertemakan pendekar. Kala itu, selalu berandai-andai, jika menjadi pendekar seperti apa. Membasmi kejahatan, membantu yang lemah, menumpas kejahatan, dan pastinya sakti. 

Seringkali bermain 'gelut-gelutan' dengan teman, seolah-olah seperti pendekar. Waktu berlalu, meski saat ini masih ada sinetron, tapi sudah tidak tertarik lagi menonton sinetron-sinetron. Keinginan bertemu pada pendekar pun tidak sesemangat dulu. 

Tapi, bertemu pendekar, masih menjadi PR. So, saat ada Kampoeng Pendekar yang mengambil tema tempo dulu, dan bisa bertemu dengan pendekar-pendekar saya pun tertarik. Meski, Kampoeng Pendekar yang merupakan sebuah lokasi wisata budaya ini mengadopsi seperti wisata-wisata kekinian, yang menampilkan pasar dengan isi jajanan pasar, jajanan lawas, jajanan tradisional, dengan mengeepankan budaya. Sudah banyak wisata seperti ini, saya beberapa kali mengunjungi wisata seperti ini, rasanya sama. 

Bedanya, kali ini berada di Cilacap, tepatnya ada di Desa Sidaurip Kecamatan Binangun. Perjalanan ke sini sekitar 60 menit dari kota Cilacap. Akses jalannya pun mudah ditemukan, sudah bisa diakses di google map. 

Ramai, begitu memasuki gang menuju ke Kampoeng Pendekar. Baru minggu ke-2 dibuka, tentu masih banyak yang datang, karena penasaran dengan kampung ini. Terutama, kampung ini berada di tengah-tengah pemukiman warga. 

Warung--warung kecil berjajar di sepanjang jalan menuju ke Kampung Pendekar, membuat saya awalnya bingung mencari pintu masuk. Tetapi dengan mengikuti arus warga, akhirnya ketemu pintu masuk. Sebelummasuk, membeli tiket di loket dengan harga Rp 3.000. 

Dipintu gerbang, kita bakal disambut oleh dua orang pendekar yang siap mengecek karcis kita. Disini bisa foto, kalau antri ya jangan, kasihan pengunjung dibelakangmu. 




Suasana kampung pendekar ini sudah dimulai sejak pintu masuk. Dimana ada dua orang pendekar, Sibuta dari Goa Hantu dan pendekar lainnya, siap menunggu para pengunjung di depan pintu masuk Kampoeng Pendekar. Begitu juga di dalam kampoeng, seluruh petugas mengenakan pakaian Jawa. 

Bahkan, penjaja warung-warung yang ada di dalam juga mengenakan pakaian Jawa. Makanan yang dijual pun merupakan jajanan lawas, seperti dawet, rujak bebek, ketan, olahan dari ubi, dan lainnya. 

Namun, untuk membeli makanan yang ada, harus menggunakan uang kayu, atau uang kepeng. Mata uang tersebut bisa ditukarkan di tempat yang sudah disiapkan. Satu kepeng seharga Rp 2000. Petugas yang mengenakan pakaian seolah Mantili ini yang bertugas menukarkan uang-uang kepeng tersebut.

Benar-benar seperti tempo dulu, semua makanan yang dijual, tidak menggunakan plastik sebagai pembungkusnya, melainkan menggunakan daun pisang, dan juga piring dari tanah liat. Untuk gelasnya menggunakan bambu. Ini sebagai upaya untuk mengurangi sampah plastik.

Pengunjung pun bisa lebih merasakan berada di zaman dulu, dengan menyewa pakaian Jawa yang disiapkan di sana, dan berfoto di spot-spot yang sudah disiapkan. 


Kampoeng Pendekar, ini merupakan inisiatif para pemuda-pemuda desa tersebut yang tergabung dalam paguyuban Putra Langgen Jagad, Tangker Wijayakusuma dan Generasi Pesona Indonesia (GenPi) Kabupaten Cilacap. Dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas PEmuda dan Olahraga Kabupaten Cilacap Heroe Harjanto pada Minggu (2/9) lalu.

"Kita mengambil tema kekunoan, dan makanan yang ada pun tradisional, ada mainan bocah, serta pertunjukan kesenian tradisional," ujar Wawan, Founder Kampoeng Pendekar.

Wawan mengatakan melalui kampung Pendekar ini sebagai wadah melestarikan sejarah dan budaya, terutama kepada para generasi muda. Agar mereka akan terus belajar dan menghargai budaya sendiri. 

Selain itu juga sebagai wadah para komunitas-komunitas seni, untuk menampilkan karya-karyanya. Karena setiap minggu akan ada pertunjukan yang ditampilkan kepada pengunjung.

"Setiap minggu ada pertunjukan seni musik, kita akan gandeng komunitas, kerjasama dengan sekolah untuk mengisi disini, ada pencak silat, tari-tarian, musik etnik dan lainnya," katanya.

Meskipun dibangun secara swadaya, pemerintah desa turut mendukung adanya Kampoeng Pendekar ini. Pihaknya juga berharap medapat dukungan dari Pemkab Cilacap untuk pengembangannya. Sehingga kedepan Kampoeng Pedekar ini bisa menjadi Desa Wisata di Cilacap.

"Kedepannya ingin ada pengembangan lebih gede, dan kami berharap perhatian pemerintah dengan membantu konsep, agar budaya kita tetap terjaga kedepannya," katanya.

GenPi Kabupaten Cilacap Faiz mengatakan Kampoeng Pendekar ini merupakan sinergi untuk membangun wisata di Cilacap. Genpi, kata dia juga mendukung dari segala lini, terutama segi promosi.

"Konsepnya ini menjadi destinasi digital, dengan dipromosikan melalui digital melalui media sosial," katanya.

Buktinya, pada minggu pertama di lounching, masyarakat berbodong-bondong datang. Sama halnya dengan minggu kedua. Kebanyakan dari mereka mengetahui adanya Kampoeng Pendekar ini dari media sosial.

Wisata ini dikembangkan dengan menggali potensi yang ada. Sehingga diharapkan kedepan bisa berimbas terhadap masyarakat sekitar, bukan hanya mereka yang bersinergi di dalam Kampoeng Pendekar. 

Pasalnya, di luar lokasi Kampung Pendekar ini juga dipenuhi dengan pedagang-peagang kaki lima yang berjualan.

"Ini juga menunjukan meski bukan pusat keramaian desa, tapi masih bisa dikembangkan, jadi sebuah potensi tidak harus apa yang sudah ada tetapi bisa digali," katanya.

Untuk masuk ke kampung in, cukup bayar Rp 3.000/orang. Sedangkan untuk parkir rp 1.000 untuk sepeda motor, dan Rp 3.000 untuk mobil. 

Rania, satu pengunjung mengatakan jika penasaran dengan destinasi wisata baru di Cilacap ini, Kampoeng Pendekar. Meski berada satu jam darikota Cilacap, dia dan teman-temannya rela menempuh perjalanannya.

"Penasaran, karena di Instagram keren-keren banget fotonya, jadi ke sini. tempatnya asri, dan unik, karena ada pendekar-pendekar," kata warga Cilacap ini. (ale)

Selasa, 03 September 2019

Don't Judge a Book by Title





"Kau sih enak Le, ora suwe tanggungan, lah aku...,"

"Gajimu sih wutuh Le, nggo dewek tok, lah aku...,"

"Seneng ya jalan-jalan terus, ora ana sing ditanggung, dewekan ya bebas...,"

Begitu, salah tiga ucapan-ucapan teman yang berkomentar tentang keuangan ku. Yang menurut mereka, selalu bahagia, kelebihan uang, tidak pernah mengalami kesulitan, kesusahan terkait keuangan. Terutama saat ini, dimana upah kami masih menunggak. Dikirane masih ana tabungan segunung.

Sok tau..!! Sebenarnya aku ingin jawab itu, tapi kadang cuman ku senyumin saja, ketawain, atau ku jawab : "Ya iyalah..duit e nggo ngapa nek ora nggo foya-foya, jalan-jalan dan makan-makan...," kataku.

Haahaa...karena, apapun jawaban pernyataan itu, tidak akan merubah pikiran mereka tentangmu. Apapun beralasan, hak upah ini untuk membiayai keluarga, mereka ngga akan percaya.

Apapun perkataanmu, jika uang upahmu kau gunakan untuk bapak, ibu, biaya kuliah adikmu dan nabung buat ibumu haji..mereka ngga akan peduli. Apapun jawabanmu, tidak akan merubah pandangan mereka.

Karena selama ini sudah terpatri di pikiran orang, jika single woman, sepertiku yang bebas...tidak punya beban, tidak punya tanggungan, hidup berkecukupan. Bebas mau apa saja.

Apalagi, mereka sering lihat jalan-jalan, traveling atau naik gunung. Yang tentunya tidak menghabiskan hanya Rp 100 ribu, Rp 200 ribu. Makan-makan, atau beli buku.

"Kau bisa jalan-jalan, karena kau masih sendiri, duitmu cukup. Lah aku kalau jalan-jalan kudu mikir anak bojo," ujarnya.

Ingin aku menjelaskan, tapi percumah. Karena itu, diam dan senyum saja menjadi jawaban bagi mereka. Tidak lagi udah berkomentar. Tidak lagi usah menjelaskan. Tidak peduli lagi perkataan mereka. Tidak..meski aku tidak begitu.

Saya hanya ingin kalian tidak memandang orang berdasarkan perspektif kalian sensiri. Tidak usah menilai orang, hanya dari luar, atau karakter sehari-hari. Karena belum tentu itu kebenaran yang diperlihatkan oleh mereka.


Cukup berteman, tanpa membanding-bandingkan dengan diri kalian. Karena kehidupan kita berbeda-beda. Jangan membanding-bandingkan, karena kau tidak tahu proses yang sudah saya lewati.



Senin, 02 September 2019

Tempat Camping Cocok Bagi Keluarga di Purwokerto



Camping atau berkemah seringkali dilakukan oleh anggota Pramuka atau pecinta alam. Akan tetapi, akhir-akhir ini, kegiatan camping ini sudah semakin merakyat, alias bisa dilakukan oleh siapa saja. Bahkan mereka yang belum pernah berkemah di alam sekalipun

Kegitan camping ini akan lebih menyenangkan jika dilakukan bersama dengan teman ataupun keluarga. Keluarga? iya...keluarga, terutama bagi orang tua yang ingin mengenalkan kegiatan alam kepada anak-anaknya.

Sekarang sudah banyak lokasi wisata sekaligus menjadi tempat camping yang ramah untuk keluarga, terutama anak-anak kecil. Bahkan hampir semua tempat camping komersial saat ini disetting ramah anak.

Di Banyumas, banyak loh tempat camping yang sudah ramah anak, dan bisa dimanfaatkan oleh keluarga untuk mengenalkan alam kepada anak. Jumlah pastinya belum saya hitung, tapi, kali ini saya hanya akan mengulas tiga saja. Karena lokasi ini yang pernah saya datangi dan menjajalnya. Diantaranya :

1. Warung Tenda

Warung Tenda berada di Desa Karangsalam Kecamatan Baturraden. Tempat yang menawarkan keindahan alam Baturraden. Bisa hanya sekadar  nongkrong, apalagi buat menginap.

Suasananya sangat menyenangkan, beranjak malam, bisa menikmati keindahan kota Purwokerto, dengan kerlap kelip lampunya. Bintang-bintang di langit juga terlihat semakin indah, karena terlihat jelas, tanpa diganggu oleh polusi udara maupun polusi cahaya kota.

Menikmati pemandangan, akan semakin asik dengan ada mendoan hangat, jahe susu dan juga semangkuk Mie Instan kuah yang menemani. Harganya? tentu sangat terjangkau.

Dulu, ada tenda-tenda di sini, tetapi sekarang sudah ada gazebo dari bambu sebagai tempat menginap. Tempatnya snagat instagramable deh.

Karena berada di Baturraden, kalau malam pasti dingin. Jadi jangan lupa mengenakan jaket ya.



2. Camp Area Umbul Bengkok (CAUB)



Lokasi Camp Area Umbul Bengkok atau dikenal CAUB ini tidak jauh dari Warung Tenda. tepatnya berada di bawah sebelah kanan Warung Tenda. Tempat camping dengan latar belakang  Gunung Slamet, dan juga indahnya kota Purwokerto di depannya.

Lokasi ini sangat cocok, bagi mereka yang ingin menikmati alam, terutama camping dengan cara yang tidak ekstrem. Tidak perlu jalan jauh, menuju lokasi camping, karena hanya lima langkah dari tempat parkir.

Bahkan membawa tenda dan pealatan camping lainnya. Semua disiapkan disini, tinggal siapkan uangnya saja, untuk menyewa. Praktis kan.

Harga sewa tenda tidak mahal, Rp 50 ribu/malam untuk 4 orang, tidak termasuk matras, dan juga sleepingbag. Untuk sewa ada harganya sendiri. Begitu juga dengan lampu, tempat tidur, bantal, kompor, kayu perapian dan lainnya. Jika bawa peralatan sendiri, hanya bayar sewa lahan saja Rp 35 ribu kalau tidak salah.

Buat anak-anak pun cocok lah, yang terpenting membawa pakaian hangat agar tidak kedinginan.

Jika tidak membawa bekal pada saat camping, tidak perlu takut, karena disini juga ada beberapa warung. Beberapa diantaranya juga buka 24 jam. Jangan takut kelaparan.

Camping disini benar-benar syahdu, terdengar suara gemercik air, dari sungai kecil dan juga curug kecil. Ada juga kandang angsa. Disiapkan toilet, jadi jangan khawatir.

Banyak yang camping di lokasi ini, dari semua kalangan, anak-anak sampai orang tua. Sekolah, keluarga, teman, atau gathering.  Jika tidak mau camping, bisa juga hanya makan malam sambil menikmati gemintang. Karena banyak gazebo dan juga ada gardu pandang sebagai tempat istirahat.



3. Germanggis



Germanggis, berada di Desa Karangtengah Kecamatan Cilongok. Lokasinya 200 meter sebelum tempat wisata Curug Cipendok. Jalannya ke lokasi ini cukup mudah, dan jalannya sudah halus. Tetapi haru hati-hati karena menanjak dan lumayan sempit.

Suasannya sangat sejuk, tidak kalah dengan di Baturraden. Pemandangannya juga mengasyikan, pegunungan, suasana pedesaan, dan juga peternakan sapi. Tiket masuk seharga Rp 10 ribu satu orang, dengan parkir Rp 5 ribu/motor.

Ada ikon dari lokasi ini, yakni Buah Manggis dengan ukuran besar, dan juga uuran kecil berwarna hijau. Ada banyak lokasi foto istagramable disini, tinggal pilih.

Untuk lokasi camping, ada dua tempat, dibawah dan juga diatas, dengan pemandangan yang tidak kalah menariknya. Disinipun, sudah disiapkan tenda-tenda yang siap digunakan. Harga sewanya tergantung dengan besar kecilnya tenda, isi 2, isi 4 atau lebih..kalau isi 4 sekitar Rp 50 ribu, termasuk matras. Tidak termasuk sleepingbag, dan pakaian hangat.

Disini juga ada warung-warung yang menjual makanan, jadi aman tidak kelaparan. Selain itu, banyak tempat bermain untuk anak, ada juga taman, bisa menjadi tempat edukasi mengenalkan alam kepada anak-anak.


Sebetulnya ada banyak lokasi yang ramah anak dan buat keluarga camping, tapi menurut saya tiga lokasi ini yang mudah dijangkau, praktis, dan pemandangan indah. Selamat mencoba...

Bagi ada yang memiliki refrensi tempat camping ramah anak lainnya, bisa usul, agar saya bisa ke lokasi dan menjajalnya.



Selasa, 06 Agustus 2019

Masa Menyerah di Raung?


Ingin Menyerah, Tapi Tak Bisa Menyerah 

Puncak Gunung Raung 3344 mdpl


Jalur terjal yang tidak berujung, berat beban yang dibawa dan juga gelapnya malam membuatku ingin menyerah pada pendakian ke Gunung Raung, kemarin.

Bagaimana tidak, Camp 7 yang menjadi tujuan camp hari pertama, tidak kunjung terlihat. Jalan terus menerus menanjak, tiada akhir sejak Camp 3. Badan sudah letih, basah kuyup oleh keringat yang mengucur. Menambah dingin menusuk tulang.

Jalan Menuju Puncak
Kaki serasa sudah enggan melangkah, menapaki jalur bebatuan dan berakar. Nafas sudah tidak lagi bisa berirama normal. Mata sudah tidak bisa fokus melihat, phobia jalan malam tepatnya. Sudah hampir 11 jam kaki ini menapak dari Camp 1 Sunarya menuju ke Pos 7. Tapi sampai pukul 20.00 WIB, shelter yang kami tuju tapi tidak kunjung terlihat.

Ingin mulut ini berkata dengan lantang “Aku menyerah!!” tapi hati ini melarangnya. Masa harus menyerah di jalur Raung, belum sampai Puncak loh..Apalagi, nanjak ke Raung butuh biaya besar. Okelah...

Jalur e broo....ini dari Pos 7 menuju ke Puncak

Yaa, memang tidak bisa menyerah. Entah berapa langkah lagi akan sampai ke Camp 7, kalaupun ingin berhenti dan turun, jalan pun sudah terlalu jauh. Sudah malam pula. Meski berat, kaki ini harus terus melangkah, meski berat, beban ini harus kubawa, meski berat harus sampai ke Camp 7 agar bisa istirahat. Dukungan dari tim juga membuatku semangat untuk sampai ke target hari pertama.

#karena tepar, jadi tidak banyak foto yang dibuat ya...haaa...

Pukul 21.00 WIB, tim Pejabat (pendaki jalan lambat) ini pun akhirnya sampai. Tenda warna kuning yang sudah terpasang, karena dipasang oleh porter yang juga membawa 15 liter air. Hebatlah mereka para porter itu.  

Angin besar langsung menyapa kami ketika sampai di Camp 7. Tidak butuh waktu lama, untuk mengeluarkan perlengkapan pribadi, ganti pakaian, jaket, kaus kaki, tidak lupa sarung, dan paling penting buka sleeping bag. Minum satu kotak susu coconut, tanpa menungggu makan malam, tidurlah saya..



Perjalanan dari Camp 7 menuju ke Puncak pun tidak kalah terjal dari awal pertama perjalanan. Tidak ada jalan 'bonus' menuju ke Puncak. Diestimasi perjalanan ke Puncak dari Camp 7 butuh sekitar 10 jam untuk naik turun. Nah loh, kalau Pejabat seperti kita pasti lebih kan...dan ternyata benar naik turun, kita tempuh selama 11 jam perjalanan. Wow...dua hari jalan 11 jam teruuuus.

Istirahat cukup di malam terakhir. Tidak lupa menikmati hamparan bintang, meski hawa di luar sangat dingin. Milkiway tidak lagi terlihat, tidak seperti saat terlihat di Pos 5 atau pos 6 saat nanjak. Perjalanan turun pun harus dilewati dengan slowly...pas Azan Maghrib kita sampai ke Pos Sunarya atau pos 1. atau berjalan sekitar 7 jam. 

Bayangkan kalau saya menyerah, tidak bisa sampai ke puncak. Sudah buang uang sia-sia, dan bakal menyesal seumur hidup. Karena sepertinya kalau diajak lagi ke Raung, saya bakal pikir panjaaaang lagi.

Berjuanglah terus sampai batasmu. Ingat persiapkan segala sesuatunya, terutama fisik sebelum naik gunung...




Minggu, 14 Juli 2019

Ngopi sambil Dakonan


Dakonan sambil ngopi ternyata enak

Dakon atau Congklak...masih inget permainannya?

Kemarin saya sempat lupa bagaimana cara mainnya..maklum..sudah ribuan purnama tidak memainkan permainan tradisional, zaman Sekolah Dasar dulu.

Saya main congklak, atau kalau familiarnya, dakonan, pada saat saya ngopi di warung Angkringan yang ada di Jalan Suparno, Purwokerto. Biasa, dengan teman seperjuangan, sengaja datang ke angkringan buat ngopi, dan makan gorengan. Mampir ke Angkringan ini, kalau sudah malas berfikir mau makan apa malam ini...haaa..

Habis memesan, dan membayar makanan, melihat pengunjung lain yang kebanyakan mahasiwa dan juga pelajar ini, memainkan berbagai permainan yang disiapkan oleh pengelola angkringan. Meski sering nongkrong ke sini, tapi selama ini belum pernah memainkan berbagai permainan yang ada. seperti Monopoli, ludi, dakonan, dan ada beberapa lainnya.

Iseng, temanku, pada saat duduk dan melihat sekitar, tercetus ide untuk main dakonan. "Mau main dakonan,?" katanya.
Tanpa basa bsai, ku jawab " Ya boleh,".


Papan Dakon dan Biji Dakon
Dia pun mengambil dakonan, dan juga toples kecil berisi manik-manik (zaman dulu di tempatku menggunakan kerang halus), untuk biji di dakonan. Bentuk papan dakonan maih sama seperti zaman saya kecil,, menggunakan plastik. Meskipun ada yang menggunakan kayu. Dakonan plastik, dengan tujuh lubang kecil di masing-masing sisi, atau berjumlah 14 buah dan ada dua lubang besar di masing-masing ujung.

Papan Dakon dari platik
Tiba-tiba pada saat akan membagi biji ke lubang-lubang kecil yang ada, lupa jumlah yang harus dimasukkan ke dalamnya. Karena sama-sama blank, akhirnya googling sebentar...(haa...mbah kali ini haru berterimakasih kepadanya).

Setelah googling, dan membaca, ternyata lubang-lubang kecil di isi sebanyak 7 biji. Ternyata, setelah di bagi, jumlanya kurang, sehingga  kami hanya memberi masing-masing lima butir dan enam biji di lubang-lubang kecil.

Kamipun suit untuk menentukan siapa yang bakal jalan duluan. Setelah suit, yang menang pun bisa memulai permainan, denan memilih lobang yang bijinya diambil, dan diletakkan di lubang-lubang sebelah kanannya, dan seterunya. Sampai nantinya, jika biji dakon habis di lubang yang masih terii biji, maka bisa melanjutkan perjalanan. Jangan lupa sambil mengisi lubang besar milik sendiri.


Bila biji yang diambil habis di lubang besar, maka permainanya berhenti. Begitu juga jika akan berhenti jika berada di lubang kosong. Tapi, jika berhenti di lubang kosong di sisi lawan, dia tidak akan mendapatkan apa-apa, tapi jika berhenti di lubang kosong milik sendiri, maka bisa mengambil biji yang ada di sisi lawannya.

Permainan akan selesai jika, satu diantara pemain udah tidak ada biji lagi di lubang-lubang kecil.  Lalu, jumlah biji yang ada di lubang besar dihitung, untuk menentukan pemenangnya, dengan memiliki jumlah biji terbanyak.

Permainan saya dan temen saya ini, berlangsung draw. Dari empat permainan yang kita mainkan, sambil makan gorengan dan ngopi, dua kali saya menang dan dua kali dia menang.




Dengan melakukan permainan ini, menjadikan ingatan ke zaman kecil dulu, apalagi di tambah sambil ngopi, rasanya seperti oldiest. Bersama dengan teman-teman yang kebanyakan merupakan tetangga. Main dari pulang sekolah sampai sore, dengan berbagai permainan yang dilakukan. Mulai Suramanda, petak umpet, lompat tali, main kelereng, main rumah-rumahan dari tanah, dan lainnya.

Berbahagialah kita yang pernah mengalami masa-masa menyenangkan di zamannya, dulu. Dengan berbagai mainan tradisional, dan belum terkontaminasi gadget seperti sekarang ini.


Kamis, 20 Juni 2019

Kota Satria atau Kota Pudak?



Kamu pernah kepikiran pengen merantau? Atau berpikiran tinggal di tempat yang jauh dari asalmu?
Kalo iya, berarti kita samaan. Hehehe.

Sebelum tinggal di kota Satria ini, aku tinggal di Gresik. Tau Gresik kan? Itu loh kota industri yang terkenal dengan Semen dan Pupuknya. Sejak usia dini alias 3 bulan di tahun 1986 (ketahuan kan umurku, he), aku pindah dari tanah kelahiranku, Cilacap, ke kota yang bersebelahan dengan Surabaya ini.

Sejak kecil, aku sering diajak ibu-bapakku mudik ke Kota Bercahaya- Cilacap. Naik kereta api. Jangan bayangkan kereta api jaman dulu seperti sekarang ya. Dari situlah keinginanku untuk merantau terasah tajam, pisau kali ah. Semakin dewasa, keinginan untuk pergi dari rumah semakin menggebu-gebu.

Dan kesempatan itu datang setelah aku menyelesaikan kuliah di tahun 2008. Tiga bulan setelah wisuda, aku kerja tapi cuman sebentar. Saking seringnya ngaplo alias ngga ngapa-ngapain di tempat kerja, browsing-browsing tempat-tempat asik pun terjadi. Klik klik klik dan eng ing eng...sampailah pada sebuah situs yang memperlihatkan keindahan kota PURWOKERTO. Jiwa petualangku terusik, e cie cie...

Di tahun 2010, aku memutuskan untuk pindah ke sana. Pengen tau kota ini seperti apa? Nih, aku kasih sedikit bocoran bukan cuman tentang Purwokerto tapi juga Gresik. Biar kamu ga berisik. Hihihi. Udah siap? Let’s start.

Kalo dilihat dari peta Indonesia, kedua kota ini sih ga sampe sejengkal tangan. Tapi kalo mau berkelana menikmati perjalanan, hijrah dari Gresik ke Purwokerto akan memuaskan dahagamu. Sebenarnya, kedua kota ini memiliki geografis yang jauh berbeda. Gresik merupakan dataran rendah di pesisir laut Jawa sedangkan Purwokerto berada di dataran tinggi di kaki Gunung Slamet. Dari sini udah merasakan bedanya kan?

Udara Purwokerto tentunya jauh lebih sejuk dibanding Gresik. Belum ada Polusi (kala itu, red). Kabut? Sering banget turun meski itu di pusat kota. Apalagi musim kemarau, kabup pekat bakal turun di kota seribu curug ini. Curug atau air terjun, atau waterfall ya...heee..

Curug Cipendok

Oya? Iya dong. Seribu curug? Kayaknya lebih deh. Tapi belum tahu ding. Belum pernah bener-bener survei jumlahnya di sini. Kalo kamu tinggal di kota ini, untuk menuju ke curug-curug itu deket, guys. Kebanyakan curug-curug itu di wilayah Baturraden. Kenal kan sama doi? Dataran tinggi yang sekarang masuk dalam 10 tararan tinggi terpopuler di Indonesia. Baturraden cuman setengah jam dari pusat kota Purwokerto. 

Di sini, kamu bisa explore jiwa petualanganmu dengan mengunjungi beragam curug. Mau curug yang tinggal nyemplung tanpa jalan kaki atau pengen bikin kakimu capek sebelum ciblon juga ada. Dari curug yang tingginya puluhan meter sampai curug yang cuman lima meter ada semua di sini.


Kedung Pete, Curug Telu


Meski Gresik tak sesejuk Purwokerto bukan berarti di kota Pudak ini tak ada tempat wisata. Banyak juga dong. Bedanya, di kota ini lebih banyak wisata sedimen penambangan kapur. Sebut saja Bukit Jamur di Menganti dan Wisata Sekapuk yang menyajikan indahnya kerukan penambangan kapur. Kota ini memang dijuluki kota kapur karena saking banyaknya wilayah kapur di sini.
Kota ini juga banyak industri. Polusi? Bisa dibayangkan.

Tapi tetap saja, kota ini mempesona. Karena UMR di kota ini tinggi, guys. Wih wih wih. Ditambah lagi, beragam kuliner lezat tersaji di sepanjang jalan dari arah Surabaya sampai ujung kota ini which is berdekatan dengan Lamongan. Dijamin bisa subur makmur kalo kamu merantau di sini. Sebut saja nasi krawu daging, bandeng presto, otak-otak bandeng, lontong kupang, lontong rumo, martabak usus, pentol kojek, dan kalo kamu beruntung setiap Ramadan di daerah Gumeno tersaji kolak ayam.


Foto perjalanan Saya dan teman2 saat di Gresik

Belum pernah makan ayam dibikin kolak kan? Makanya main ke Gresik setiap Ramadan dan temukan keaslian rasa kota ini, uwooooo. Eh, kelupaan. Satu lagi makanan yang wajib dicoba, Pudak. Penasaran kan? Makanan ini sejenis snack yang ga ringan. hihihihi. Soal harga, makanan ini tidak menguras kantong para perantau yang masih pas-pasan cenderung kering sepertiku , hiks. Dijamin rasa kaki lima harga bintang lima, eh, kebalik. Rasa bintang lima, harga kaki lima. 

Trus gimana Purwokerto? Makanan apa aja yg yahud di sana?

Yang paling terkenal tentu saja tempe mendoan. Di sini, kamu bisa menemukan bentuk mendoan yang super besar sampai-sampai perutmu kenyang hanya dengan makan sebiji aja. Kalo kamu suka yang manis-manis kayak aku, hehehe, di kota ini tersedia getuk goreng. Iya getuknya digoreng.


lagi...haluu

Rasanya? Tentu saja semanis omongan gebetan waktu pedekate. Ada juga dages. Ini sejenis tempe tapi dari ampas tahu. Kan bingung? Jadi sebenernya ini tempe apa tahu? Mau tau? Ke sini aja.
Soal rakyatnya alias para buddies-nya, kedua kota ini menjadi juaranya. Ruuuuaaaammaaaaahh banget. Ga usah takut untuk bertanya pada orang-orang disini. Mereka akan sangat senang membantu Anda-Anda sekalian jikalau tersesat di kota ini. Jika beruntung, bisa dapat pasangan, eh.

Meski sekarang sudah tinggal di Purwokerto, Gresik tetap selalu di hati. Dua-duanya tidak terpisahkan dari nadi ku..ahaay....

Rabu, 19 Juni 2019

Cebong dan Kampret di Mandalawangi

Pejabat di Mandalawangi Gunung Gede Pangrango

Kabut dingin menyapaku saat kaki ini menapak di Lembah mandalawangi, Gunung Pangrango April lalu.

Lembah Mandalawangi, yang menurutku sebuah percikan surga yang mendarat di Gunung Pangrango ini. Sepanjang mata memandang, hamparan bunga abadi Edelweis yang mulai mengembang. Sungai kecil yang membelah Mandalawangi airnya mengalir sepanjang tahun. Bersih, dan juga rasanya ada manis-manisnya gitu. (bukan kaya iklan air mineral loh, hee...).

Otakpun bekerja lebih normal, asupan oksigen yang bersih dari udara Mandalawangi membuat, toksik-toksik hilang. Aliran darah semakin lancar, bahkan kalau dibuka, bisa muncrat. heee...

Sunyi, suasana di lembah yang dijadikan puisi oleh Soe Hok Gie, aktivis UI dan juga pendaki gunung yang sering menghabiskan waktu disini. Pemandangan yang indah, suasana yang sunyi memang sangat cocok untuk untuk mencari inspirasi membuat puisi. Sayang,..karena sibuk foto jadi tidak sempat..haaa..

Hening,.tidak ada suara keramaian. Patut untuk menyepi, tapi jangan sendiri. Bakal menakutkan pasti, dan kalau terjadi apa-apa tidak ada yang mengetahui. Cuman mengingatkan, disini ada prasasti sebagai lambang untuk mengingat para pendaki yang meninggal di Gunung dengan ketinggian 3.019 mdpl ini.

Ngopi di Mandalawangi
Kopi yang dibuat pun, menjadi kopi terenaak di dunia. Meski hanya kopi sacet, bukan kopi-kopi khas kedai kopi yang lagi kekinian itu. Apalagi, bercengkrama dengan teman yang baru dikenal di puncak. Kebersamaan, keeluargaan, tanpa ngomong politik pilihan ita, meski kami Cebong dan Kampret.

Ingin rasanya berlama-lama, bahkan menikmati malam di lembah ini. Menikmati gugusan bintang di langit yang terlihat akan sangat dekat dengan kita, membuat kita serasa lebih dekat dengan pencipta (kalau merasa sih). Waktulah yang akan menemukan kami..pendaki dan Kesunyian Mandalawangi.

Sponsor kami, Hitec

13 Tahun lalu, kaki ini menginjakan kaki di Gunung Pangrango. Ajakan dari teman 'balung tua' lah yang membuat saya menjelajah kembali ke masa lalu. Kaki tidak selincah dulu, tidak lagi bisa menahan berat beban seperti dulu. Dengan tekat keras dari Tim Pejabat (pendaki Jalan Lambat) ini, membuat perjalanan lebih menyenangkan.



Camping di Kandang Badak, itu ajakan pertama kepada saya, yang langsung saya iyakan. Sesampainya disana, ternyata tujuan adalah Puncak Pangrango. Saya ikuti, karena kala puncak Gede, pasti akan saya tolak. karena beberapa bulan lalu, baru meninjakan kaki di Gunung Gede, yang sangat ramai, serta sudah banyak penjaja makanannya. Kalau seperti ini sih, ada positifnya, bisa meringankan beban konsumsi kalau nanjak.

Empat orang pendaki cewe, yang sudah puluhan tahun tidak meregangkan kakinya di gunung, mencoba mendaki lagi. Langsung ke Gunung Pangrango.



Perjalanan yang tidak mudah, tapi dengan semangat 30 an, kami berangkat dan menjajal kaki dengan jalur Cibodas. Butuh sekitar delapan jam, perjalanan dari basecamp Cibodas menuju ke Kandang Badak. Perjalanan yang tidak mudah, bikin ngos-ngosan tapi menyenangkan.

Menjadi lebih semangat, karena menu makan malam yang sangat istimewa. Dengan Chef langsung dihadirkan dari Depok, Chef Emon.

Menu Makam Malam kami
Perjalanan dari Kandang Badak, menuju e Puncak secara normal ditempuh selama dua jam perjalanan. Tapi kali ini, bagi kami lebih dari itu. Padahal, tidak ada beban yang kami bawa di punggung.

Apa coba masalahnya, ternyata...kita tidak sarapan. Padahal, saat malam, menu makanan kami sangat mewah dan banyaaak...

Walhasil, jalur yang panjang dan menanjak, dengan perut keroncongan, membuat kami semakin lambat. Beruntung, teman perjalanan kami, eh mas Porter, Kang Balon. Kesalahan fatal lagi, adalah, tidak membawa trangia, jadi tidak bisa ngopi Puncak, atau di Mandalawangi. Ah..pendakian iseng banget kan...kelihatan lama ngga pernah nanjak nih...duh

Kelihatan lemes banget kaan...
Semua kelelahan, terbayarkaan dengan indahnya Mandalawangi. Puncak sih biasa saja. haaa...
Apalagi, disana saya mendapat pengalaman yang tidak enak. Menginjak "ranjau darat" alias ee orang. teganya, pendaki itu, ee di dekat puncak, dan ruangan terbuka pula. Ah...baunya jadi keinget deh...Sem.

Puncak Pangrango

Kopi terenak juga didapatkan, dari 'urunanya' pendaki-pendaki lain. Kompor pinjam dari pendaki asal Jakarta, yang dituker dengan setup pisang. Kopi, ternyata da satu disaku Kang Balon. Kopi yang enak dan bisa mengisi energi, meski tidak full. Tapi bisa membawa kami turun Kandang Badak.


Puncak Pangrango dari Kandang Badak

Poto wajib di Mandalawangi

Meski lelah, kami Bahagiaa


Keren kan kami...heee

Sebelum menanjak


Ingin lihat perjalanan mengasyikan kami di Gunung Pangrango, bisa klik https://youtu.be/dqszJq1aN_0



Rabu, 16 Januari 2019

Jatuh Cinta pada Disposable Cam



Kenal kamera ini waktu lagi ada flashsale di Salah satu toko online. Melihat harganya kok murah, jadi beli. karena awalnya saya fikir ini kaya kamera poket rol kamera analog zaman dulu, dan yang bisa diisi ulang lagi. Ternyataa......


Sejak kecil sudah suka kamera. Kamera analog SLR saya, hilang di kosan, saat saya tinggal kerja dulu. tapi ada kamera poket yang sebenarnya masih bisa digunakan, tapi karena  mencari rol film sudah susah, jadi begantilah ke kamera digital. Apalagi, pekerjaan saya juga mendukung untuk menggunakan kamera digital, baik DSLR, prossumer, atau kameran saku.

Tapi aneh, sekrang ini hasrat untuk kembali ke kamera analog lagi tinggi. Lalu kamera poket yang masih ada caya cari di gudang. Ternyata eh ternata....sudah diloakkan oleh Babeh saya. Mau bagaimana lagi, mencari jejaknya saja sudah tidak mampu.



Jadilah saya tertarik dan pencet produk disposable cam. Meskipun saya sudah baca deskripsinya, saya masih beranggapan itu kamera poket yang bisa isi ulang. Setelah transaksi, saya baru ngeh kalau namanya Disposable Camera. Otomatis searching ini kamera apa dong. Ternyata ini kamera sekali pakai, dengan isi 27 film. Jadi artinya, setelah habis 27 pencetan, sudah ngga bisa di pakai lagi, nah looh...sempet paniklah saya. 

Pingin di cancel tapi dah terlanjur. Harganya juga ternyata murah, satu biji Rp 170 ribu, nah saya beli isi 2 harga Rp 410 ribu plus ongkos kirim. Mahalan punyaku ya, meski lagi flash sale.

Melihat refrensi dan hasil-hasil fotonya bagus-bagus, unik, malah jadi penasaran, nanti hasilnya bakal seperti apa. Saya malah jadi semangat kamera ini bakal Aku bawa buat jalan-jalan pas tahun baru kemarin...So...saya yakinkan diri untuk tidak menyesal. Meskipun, berfikir..bakal dimana cetak fotonya di Cilacap....tapi..ah..itu dipikrkan nanti.




Paket Disposable Camera yang saya terima isinya ada dua kamera yang terbungkus plastik, lalu ada case camera warna hijau, serta ada carabiner hijau, khas Fuji Film.

Ternyata Ada banyak merk kamera sacet ini, kalau punya saya Fujifilm dgn iso 400. Infonya ada banyak merek lainnya, seperti Kodak, delel..kalau penasaran bisa cari ditoko online, search Disposable Cam, bakal banyak keluar dengan harga bervariasi

Cara pakainya sangat mudah ternyata. Plastik yang membungkus kamera tinggal disobek. Lalu bisa laungsung digunakan. Kalau mau pakai flas, tinggal tarik flip pada bagian sebelah lensa, naik turun. Meski flasnya kecil, nyalanya lumayan kok. CUman karena bukan kamera digital, kita tidak bisa lihat hasilnya langsung. 



Kalau sudah selesai memotret 27 foto maka shutter tidak akan bisa kamu klik lagi. Kalau udah begitu, gulung film hingga masuk lagi ke dalam rol.

Untuk mengeluarkan film, kita  harus "merusak" disposable camera, sampai rol film yang ada di dalamnya bisa dikeluarkan, dan kemudian di cetak. Setelah itu kamera tidak bisa digunakan lagi, buang atau jadi pajangan aja di kamar.

Untuk hasilnya, dari lihat di internet keren-keren. Kalau punya saya belum saya cetak, karena eh...karena...di kota saya tinggal, Cilacap sudah tidak ada tukang cetak foto yang bisa. Jikapun bisa kalau sudah dalam bentuk klise. Berlarilah aku ke kota tetangga, Purwokerto, dan ubek-ubek kota kecil ini pun sama. Sudah tidak ada yang bisa cetak.. yaaah...terpaksa cari lewat online, dan ada di luar kota. Ngga apa-apa yang penting bisa tercetak.